Senin, 01 November 2010

Sains Islam dan Islamisasi Sains

Berkurangnya pengaruh ideologi Islam di negara-negara Islam di Eropa seperti Spanyol, negara India, Sisilia, dan sebagainya, turut mempengaruhi jarangnya orang Barat membicarakan Islam sebagai ajaran. Selain itu, kantor-kantong indeologis Islam yang dijajah oleh negara non Muslim seperti Mesir, Turki, Malasyi, dan Indonesia juga diduga dipengaruhi oleh ajaran non Islam yang sebagaian dianggap sekuler.
Belakangan ini, ada sebagian orang Muslim bersikap menolak terhadap semua ilmu pengetahuan yang datang dari Barat karena diangap sekuler. Untuk memajukan Islam harus kembali pada al-Qur’an, al-Sunnah, dan warisan Islam di zaman klasik. Sebagian lainnya berpendapat bahwa ilmu itu netral tidak berurusan Islam dan tidaknya. Adalagi yang lebih akomodatif menerima perkembangan ilmu pengetahuan dari Barat dengan mengatakan ilmu pengetahuan yang sekuler itu juga dapat diterima oleh Islam setelah dilakukan islamisasi.
Adakah ilmu Islam? Jika ada ilmu Islam, perlukah ilmu-ilmu dari Barat itu diislamkan? Tanggapannya adalah beragam dari yang mengatakan adanya ilmu Islam dan perlu diadakan islamisasi ilmu. Sementara ada yang berpendapat bahwa ilmu Islam itu tidak ada, maka tidak perlu mengadakan islamisasi ilmu.
Fazlul Rahman, Ziauddin Sardar, dan Mohammad Arkoun, termasuk orang yang tidak sependapat dengan islamisasi ilmu. Tindakan islamisasi ilmu menurut Arkoun justru mempersempit Islam sebagai ajaran yang univesal yang dianggap hanya bersifat ideologi. Sementara Rahman berpendapat islamisasi ilmu menjadikan ilmu Islam berada pada pisisi subordinat dari ilmu-ilmu modern. Selanjutnya ia mengatakan bahwa seharasnya ilmu dimulai dari al-Qur’an dan tidak berakhir di al-Qur’an. Rahman sepertinya berpendapat bahwa semua teori ilmu bisa dilahirkan prinsipnya dari al-Qur’an, sedangkan teknisnya yang lebih rinci didapatkan dari penelitian ilmiah. Adapun Sardar menganggap islamisasi ilmu itu naif yang justru akan membaratkan ilmu-ilmu Islam. Bukan ilmu-ilmu Islam yang diadaptasikan, tetapi sebaliknya, ilmu-ilmu Barat itulah yang harus diadaptasikan terhadap ilmu-ilmu Islam. Islamisasi ilmu ibarat meletakkan kereta di depan kuda. Hal senada juga dikatakan oleh Usep Fathuddin bahwa islamisasi tidak perlu karena itu bukan kerja kreatif dan tidak ilmiah. Islamisasi ilmu hanya ”kerja kreatif” atas karya orang saja. Yang kita butuhkan adalah mengembangkan ilmu pengetahuan. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa islamisasi ilmu-ilmu Barat itu bagaikan menggantungkan ”kaligrafi” dalam karya pertukangan. Lebih tepatnya, islamisasi itu tukang lebel ilmu yang telah ditemukan orang lain.
Lain halnya dengan Mulyanto yang berpendapat islamisasi ilmu merupakan proses penerapan etika Islam dalam pemamfaatan ilmu tersebut. Selain itu, katanya islamisasi ilmu sebagai proses pemurnian ilmu pada prinsif-prinsif tauhid, kesatuan makna kebenaran, dan kesatuan ilmu pengetahuan. Secara implisit Haidar Bagir mengatakan perlu islamisasi ilmu dengan mengatakan bahwa perlu dibentuknya sains yang islami. Ada dua alasan pokok kenapa dibutuhkan sains yang Islami menurut Haidar Bagir. Pertama, ilmu-ilmu dari Barat materialis, sedangkan kita membutuhkan sains yang sintesis dari materi dan spritual. Kedua, secara sosiologis, ilmu pengetahuan yang diciptakan oleh Barat dirumuskan untuk kepentingan masyarakat mereka sendiri. Mulyadi Kertanegara berpendapat bahwa islamisasi ilmu bisa dibutuhkan dan bisa tidak. Dibutuhkan tatkala dilihat bertentangan dengan ajaran Islam secara filosofis. Karena sains Barat dibangun berdasarkan filsafat Barat yang jelas berbeda dengan filsafat Islam. Dengan demikian saat ini, islamisasi ilmu jelas dibutuhkan.
Walaupun ada perbedaan pendapat terhadap islamisasi ilmu, menurut Abuddin Nata, umat Islam sepakat bahwa ilmu pengetahuan yang dibangun dari dasar-dasar ajaran Islam diperlukan. Artinya, dipersoalan nama (aksidental), dimana orang bisa berbeda, tetapi pada persoalan substansi orang sependapat. Pengembangan ilmu pengetahuan diperlukan di satu sisi, dan islamisasi ilmu juga di sisi lain juga diperlukan untuk misi ketuhanan. Menurut Abudinata lagi orang yang tidak setuju dengan istilah islamisasi ilmu berpendapat bahwa mereka yang pro islamisasi ilmu, terkesan merasa gengsi menerima ilmu pengetahuan dari Barat, sehingga perlum mengislamkannya. Sementara mereka yang pro islamisasi ilmu tidak mengingkari perlunya sains Islam yang mandiri, tetapi tidak salah mengadaptasikan ilmu dari Barat dengan Islam sebagaimana dulu juga Barat mengambil sains dari Islam dan mengadaptasikannya dengan budaya mereka. Penulis sepakat bahwa ilmu-ilmu modern yang datang dari Barat perlu disensor berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Islam. Yang lulus sensor harus dijustifikasi dengan jujur dan sekaligus disebarluaskan. Sementara yang tidak lulus sensor, Islam dapat mengoreksi dan bahkan menyalahkannya dengan menggantinya dengan kebenaran yang baru.
Gerakan islamisasi ilmu secara faktual dapat dilihat dari berdirinya lembaga penelitian Internasional Institute of Islamic Thought (IIIT) di Amerika Serikat yang dipelopori oleh Ismail al-Faruqi dan Internasional Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Malasyia oleh Naquib al-Attas. Baik al-Faruqi maupun al-Attas melihat adanya krisis dalam basis ilmu pengetetahuan modern mengenai realitas dan filsafatnya, sehingga, islamisasi ilmu dibutuhkan.
Tanpa mempersoalkan siapa yang menggagas pertama kali, jauh-jauh hari sebelum al-Faruqi dan al-Attas berbicara tentang islamisasi ilmu, menurut Dawan Rahardjo, Syah Wali Allah dan Sir Sayyid Ahmad Khan abad ke-18 dan ke-19 telah berbicara tentang ini dengan bukti sejarah Universitas Aligarh di India.
Bagaimana melaksanakan islamisasi ilmu? Mulyanto berpendapat, menjadikan ajaran Islam sebagai landasan aksiologis semua ilmu, tanpa mempersoalankan ontologi dan epistemologinya. Artinya, ilmu pengetahuan dan teknologi produknya netral, tetapi penggunaannya menjadi tidak netral. Pesawat terbang bisa digunakan untuk membawa misi komunis, misi penjahat, misi penjajah, dan sekaligus misi mulia seperti membawa jemaah haji ke Mekah. Penggunaan pesawat untuk kebaikan itulah yang tidak netral yang perlu diislamkan. Hal senada juga disebutkan oleh Doddy Tisnaamidjaja bahwa ilmu pengetahuan tidak mengenal etika, tetapi manusialah yang mengenalnya. Sementara menurut Takdir Ali Syahbana mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak mengenal baik-buruk, indah-tidak indah, cinta-benci, suci dan tidak suci, berguna dan tidak berguna.
Secara umum, menurut al-Faruqi, ada lima program kerja dalam islamisasi ilmu, yaitu:
1. Penguasaan disiplin ilmu modern
2. Penguasaan khazanah Islam
3. Penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern
4. Pencarian sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu modern
5. Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah Swt.

Penulis: Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar