Senin, 01 November 2010

NAIK HAJI, APA YANG KAMU CARI?

Dalam cerita sufi dikisahkan bahwa ada sepasang suami istri yang tergolong bukan orang kaya, tetapi memiliki hasrat besar untuk menunaikan ibadah haji. Mereka berdua mulai menabung, sampai tabungan mereka mencukupi untuk biaya berangkat menunaikan ibadah haji.
Dalam perjanan mereka menuju Mekah, mereka melewati suatu kampung yang penduduknya umumnya miskin. Mereka melihat anak-anak menderi penyakit busung lapar. Selain itu mereka juga melihat anak-anak tidak berpakaian. Rasa iba muncul dalam hati mereka berdua. Mereka berdua berpikir sejenak, pergi haji adalah wajib. Membantu yang lemah juga adalah wajib. Jika mereka melaksanakan ibadah haji, itu hanya untuk keperluan mereka berdua. Tetapi jika mereka membantu penduduk yang miskin, maka keperluan orang banyak lebih dari dua orang.
Akhirnya mereka mengurungkan niat untuk melanjutkan perjalanan ke Mekah dan menyedekahkan semua bekal mereka untuk penduduk miskin itu. Setelah itu mereka pulang kampung ke rumah. Ketika pulang kampung, mereka ketemu dengan orang yang tidak dikenal dan mengucapkan, ”Selamat datang dari haji mabrur wahai hamba Allah yang mulia.”
Mendengar ungkapan itu tentu mereka heran dan tidak mengerti, padahal mereka tidak berangkat haji. Mereka menerangkan kenyataannya, tetapi malah orang itu menjelaskan, bahwa yang demikianlah yang disebut dengan haji mabrur.
Dalam cerita sufi tidak usah mempersoalkan kebenaran kisahnya, tetapi substansinya itu dapat ditangkap tanpa keraguan. Artinya, ibadah haji hendaknya berdampak besar pada sikap solidaritas sosial dengan mengimplementasikan nilai-nilai ada syariat haji yang bersifat vertikal dan horizontal. Jika inti ibadah haji itu adalah wukuf di ’Arafah, maka hendaknya hujjaj dapat menjungjung tinggi dan mengamalkan apa yang ada dalam Khutbah Perpisahan Muhammad Saw.
Sebagaimana diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa isi dari khutbatul wada’ adalah menghormati keselamatan jiwa dan raga manusia, menghargai kehormatan harta manusia, menghormati martabat manusia dari segala hal, termasuk kehormatan wanita dari kewanitaan mereka. Menghilangkan rasisme dan rasialisme sebagai bagian dari dosa makhluk yang pertama.
Kualitas haji yang mabrur tidak dilihat dari cara memperoleh bekal, tidak juga dilihat dari tingkat kepayahan dalam melaksanakannya. Haji yang mabrur adalah haji yang berhasil membuang sifat-sifat kebinatangan dan menyerap sifat-sifat ketuhanan. Ketika melihat gemuruh dzikir orang-orang yang melaksanakan thawaf, Abu Bashir terpesona, sementara Ja’far al-Shadiq mengusap mukanya dan menyaksikan di sekitar baitullah banyak sekali binatang. Mereka itu berhaji dan melaksanakan semua rukunnya dalam perspektif fiqh, tetapi akal dan hati mereka masih mengidap penyakit kebinatangan. Binatang tahu mana yang enak mana yang tidak enak, tetapi binatang tentu tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Orang-orang yang ”tahu enak” dan tidak mau tahu yang baik adalah binatang berbaju manusia. Urusan enak berhubungan dengan persoalan biologis. Persoalan biologis yang banyak diladeni adalah makan, minum, dan seksual. Untuk itulah dalam berpuasa, tiga sarana biologis itu diikat untuk sementara waktu.
Haji yang diterima oleh Allah disebut dengan mabrur. Menurut hadits yang diriwayatkan Ahmad bahwa haji mabrur itu memberi makan orang miskin dan menyebarkan salam. Hadits tersebut secara ekplisit mengungkapkan unsur materil (fisik) dan immateril (psikis).
Mabrur mengandung tindakan berupa pertolongan konkrit terhadap orang lain. Konsep wakaf, zakat, infak, dan shadaqah adalat bentuk kebaikan konkrit dari mabrur. Nilai suatu harta bisa dilihat dari seberapa besar wakaf, zakat, infak, dan shadaqah seseorang. Karena tidak semua orang memiliki peluang yang sama dalam berbuat kebaikan (mabrur) dengan harta, maka jalan kemabruran itu juga dapat dilakukan dengan menyebarkan salam dengan tenaga dan pemikiran. ”Memberi kail ada kalanya lebih baik dari memberi ikan” Mendidik ada kalanya lebih baik daripada memberikan bantuan secara materil. Sebaliknya ada kalanya memberi ikan lebih baik dari memberikan kail. Jika ada orang yang sedang lapar, maka memberi makan lebih baik daripada memberikan uang. Kemabruran bisa dinilai dari fungsionalnya suatu bantuan. Semakin fungsional suatu bantuan, maka kemabrurannya semakin baik.

Penulis: Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar