Selasa, 09 November 2010

Semangat Berkurban Rakyat Kecil dan Kunjungan ke Yunani

Home Republika Online
Koran » Resonansi
Selasa, 26 Oktober 2010 pukul 11:12:00
Semangat Berkurban Rakyat Kecil dan Kunjungan ke Yunani

Oleh Ahmad Syafii Maarif Saat publik Indonesia merasa jijik membaca berita tentang kunjungan anggota Dewan Kehormatan DPR untuk belajar etika ke Yunani, sebuah negara yang hampir gagal dengan tingkat korupsi dan praktik upeti yang marak, cerita di bawah ini barangkali dapat sedikit menyentuh nurani kita tentang bagaimana tingginya semangat berkurban rakyat kecil. Cerita ini saya peroleh dari seorang sopir taksi Primkopad (Primer Koperasi Angkatan Darat) bernama Daliman (46) yang mengantarkan saya ke Bandara Adisutjipto, Jogjakarta, pada 23 Oktober 2010. Ini untuk kedua kalinya saya bersamanya. Sekitar 30 menit dalam perjalanan, Bung Daliman terus saja bercerita, sesekali saya sela dengan pertanyaan. Bagi saya info yang disampaikan dengan cara yang sangat lugu itu sungguh mengharukan, teramat dalam pesan moral yang disimpannya. Adalah Desa Pentung, Seloharjo, Kecamatan...

Sikap Teologis dalam Menghadapi Bencana

Home Republika Online
Koran » Resonansi
Selasa, 02 November 2010 pukul 10:56:00
Sikap Teologis dalam Menghadapi Bencana

Ahmad Syafii Maarif Menurut Karen Armstrong, sejak meledaknya Perang Dunia (PD) II banyak rakyat Inggris yang tidak mau lagi percaya kepada Tuhan. Mengapa perang dibiarkan berkecamuk yang menimbulkan bencana yang demikian dahsyat, jika Tuhan memang mahakuasa? Karena pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan memuaskan, maka sebagian rakyat Inggris meninggalkan Tuhan dan tidak mau hirau lagi dengan agama. Mereka tidak berpikir bahwa peperangan adalah akibat ulah manusia, bukan kehendak Tuhan. Tetapi, karena penderitaan begitu berat yang dirasakan, lalu orang mencari jalan termudah: menyalahkan Tuhan. Secara garis besar, bencana itu ada dua macam: bencana alam dan bencana akibat kelakuan manusia. Bencana Lapindo dan Wasior adalah bencana karena ulah manusia, lalu alam mengamuk. Korban bergelimpangan, tetapi pengusaha berdalih bahwa kedua bencana itu adalah bencana alam, sebuah sikap yang tunamoral dan tidak bertanggung jawab. Berkali-kali tragedi semacam ini berlaku di Tanah Air kita, penyebab utamanya tetap saja karena...

Mbah Maridjan dan Polemik Internet

Koran Republika » Resonansi
Selasa, 09 November 2010 pukul 11:09:00
Mbah Maridjan dan Polemik Internet

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Semula saya tidak tertarik untuk menulis tentang isu ini, tetapi di internet sedang berlangsung polemik pro-kontra tentang kematian Mbah Maridjan (1927-2010) yang dikenal sebagai kuncen (juru kunci) Gunung Merapi. Sebelum menduduki posisi itu pada 1982, dia merupakan pembantu bapaknya sebagai kuncen. Tugasnya cukup dahsyat: menjinakkan Gunung Merapi. Namanya menjadi sangat populer ketika pada tahun 2006 imbauan Sultan Hamengkubuwono X bersama ahli vulkanologi tidak dihiraukannya agar mengungsi karena kemungkinan Gunung Merapi akan erupsi. Kebetulan saat itu ilmu titennya manjur, tidak terjadi letusan. Akibatnya, sosok yang sangat sederhana ini melangit. Sebuah perusahaan minuman bahkan menjadikannya sebagai bintang iklan dengan bayaran sebesar Rp 150 juta, sedangkan gajinya sebagai abdi dalem Keraton Yogyakarta hanyalah Rp 10 ribu per bulan.

Gelarnya sebagai abdi dalem penjaga Gunung Merapi adalah R Ng Surakso Hargo atau Mas Penewu Surakso Hargo (penunggu gunung). Dia tinggal di Desa Kinahrejo secara berketurunan. Dalam mitologi Jawa Keraton Gunung Merapi ada bahureksonya, penguasa Merapi yang terletak di utara Yogya itu, sedangkan di selatan dipercayai pula adanya Nyi Loro Kidul, penguasa laut selatan. Keraton Yogya berdiri di tengah-tengahnya.

Sudah tentu semua mitos itu bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan raja-raja Mataram. Dengan menciptakan berbagai mitos yang sarat klenik itu, diharapkan tidak akan ada kekuatan yang dapat menghancurkan Mataram. Di era Islam, kepercayaan semacam ini diselimuti dengan ajaran-ajaran agama yang kemudian membentuk Islam Jawa (kejawen). Tradisi ini ternyata bisa bertahan selama ratusan tahun dengan plus-minusnya. Plusnya, secara sosiologis dari sudut penyebaran Islam, mayoritas rakyat Jawa telah menjadi Muslim, terlepas dari kualitasnya. Minusnya, akan sulit dibedakan antara ajaran autentik Islam yang bersumbu pada doktrin tauhid dan apa yang disebut kearifan lokal yang sudah bercampur aduk dengan tradisi kuno yang sudah berusia ratusan tahun. Sebuah sinkretisme yang sangat awet dan fenomenal.

Mbah Maridjan adalah produk dari tradisi panjang yang sudah diislamkan itu. Secara pribadi dia adalah seorang saleh, rajin beribadat, punya masjid, suka memberi, bahkan menjadi pengurus tingkat ranting sebuah gerakan Islam. Tetapi, pengabdiannya terhadap perintah Sultan Hamengkubuwono IX agar siap menjadi orang terakhir yang mengungsi saat bahurekso marah telah berakhir dengan sebuah tragedi. Di sini terjadi ketegangan antara sikap menjunjung dawuh dan risiko maut. Mbah Mardjan, saya tidak tahu persis, telah menempuh jalan kedua.

Sekiranya Merapi tidak cepat meledak, boleh jadi Mbah Mardjan akan mengungsi juga sebab pihak yang membujuk telah berdatangan sebelumnya. Kita tentu mendoakan arwah Mbah Mardjan diterima Allah dengan pengabdiannya yang hampir tanpa batas itu, tak perlu dikaitkan dengan tradisi Jawa yang sulit dipisahkan dengan struktur batinnya. Namun, siapa pun yang akan ditunjuk sebagai kuncen berikutnya, janganlah terlalu mengandalkan ilmu titen, dengarlah dengan baik saran Dr Surono, pakar gunung berapi yang wajahnya tampak dalam situasi kelelahan yang berat. Gunung Merapi adalah gejala alam dengan hukum-hukum dan perilakunya sendiri. Sekalipun ilmu pengetahuan belum dapat membaca perilakunya itu dengan kesimpulan yang serbapasti, setidak-tidaknya pendekatan keilmuan jauh lebih unggul dari ilmu rasa yang lebih banyak berdasarkan empirisme tanpa melalui pembuktian ilmiah.

Akhirnya, polemik internet sebaiknya dihentikan saja, kecuali untuk tujuan-tujuan ilmu pengetahuan. Mbah Maridjan sendiri sebenarnya mengakui vulkanologi yang perlu dipelajari. Saat ditanya tentang erupsi Gunung Merapi, dengan bahasa Jawa dijawabnya: "Yo nek bab kui, takona nang vulkanolog." (Jika mengenai masalah itu, tanyakan kepada vulkanolog). Dilema Mbah Maridjan adalah dalam menghadapi gejala alam, ilmu titennya tidak jarang lebih dominan. Yang perlu dijaga adalah agar kuburannya tidak dijadikan tempat keramat yang dapat menyeret bangsa ini ke tempat jatuh yang lebih tinggi, sekalipun ilmu pengetahuan sendiri bukanlah dewa. Ilmu pengetahuan juga terbatas dan nisbi. All'hu a'lam.
Republika, Kamis, 04 November 2010 pukul 10:29:00
ISLAMISME

Azyumardi Azra

Islamisme. Ini sebenarnya bukan istilah baru di Indonesia, meski dalam masa lebih setengah abad terakhir jarang terdengar. Lepas dari itu, secara historis kemunculan istilah 'Islamisme' di Tanah Air bisa dilacak sejak masa perdebatan di antara Soekarno, bermula dengan tulisannya "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme". Tulisan yang mengandung substansi eklektik ini tak ayal memicu perdebatan antara Bung Karno dan Mohammad Natsir, dan juga Haji Agus Salim. Tidak ragu lagi, tulisan Soekarno itu terkait dengan subjek politik, dan dia juga menggunakan istilah Islamisme dengan konotasi Islam sebagai ideologi dan praksis politik untuk mewujudkan negara Islam.

Jelas Bung Karno mendapatkan istilah tersebut dari bacaannya yang luas atas literatur berbahasa Belanda dan Inggris, khususnya yang mulai menggunakan Islamisme sejak abad 18. Adalah Voltaire yang pertama kali menggunakan Islamisme dalam bahasa Prancis, yang kemudian secara berangsur-angsur menggantikan istilah Mahomatisme. Hampir tidak ada konotasi ideologis dan politis terkandung dalam Islamisme pada masa awal ini. Istilah itu lebih mengacu kepada Islam sebagai sebuah agama. Perlahan tapi pasti, istilah ini kian ditinggalkan untuk menyebut agama Islam. Namun, prasangka dan bias terhadap Islam terus berlanjut.

Kini istilah Islamisme kembali meluas penggunaannya di lingkungan masyarakat Barat dengan konotasi politik, kekerasan, dan bahkan terorisme. Dengan konotasi seperti itu, tidak heran kalau kemudian juga timbul perdebatan di kalangan para pengkaji dan peneliti Islam, baik non-Muslim maupun Muslim, tentang keabsahan dan justifikasi penggunaannya. Ini terlihat, misalnya, dalam buku yang baru saya terima dari Donald Emmerson, guru besar ilmu politik, Stanford University AS. Disunting Richard C. Martin dan Abbas Barzegar, buku Islamism: Contested Perspective on Political Islam (Stanford: Stanford University Press, 2010) menampilkan perdebatan yang hangat di antara para ahli non-Muslim, seperti Richard Martin, Don Anderson, dan Bruce Lawrence, maupun Muslim, semacam Hassan Hanafi, Imam Feisal Abdur Rauf, dan Syed Farid Alatas.

Menguatnya penggunaan istilah Islamisme dalam dasawarsa terakhir terkait erat dengan peristiwa 11 September 2001. Sejak saat itu, istilah ini menjadi salah satu kosakata dan terminologi di lingkungan elite politik, akademisi, dan media massa Amerika; dan dengan segera pula menyebar ke berbagai wilayah Barat lain. Islamisme di dalam banyak kalangan masyarakat non-Muslim Barat mengacu pada gerakan, tindak kekerasan, dan terorisme atas nama Islam dan kaum Muslim. Referensi seperti ini jelas menyesatkan dan membuat kian tercemarnya Islam dan juga mayoritas terbesar pengikutnya yang tidak ada kaitan dengan kekerasan dan terorisme, dan sebaliknya mereka adalah orang-orang beriman yang berusaha menjalani kehidupan mereka secara baik-baik dan damai.

Juga ada kalangan akademisi Amerika yang menolak pengertian Islamisme yang merupakan semacam padanan bagi istilah lain, seperti 'Islamo-fascism' atau 'fundamentalisme'. Contohnya Daniel Varisco, guru besar Universitas Hoffstra, yang memandang istilah tersebut tidak dapat diterima karena mengandung bias khusus kepada Islam. Menurut Varisco, kalau ada Islamisme, mengapa tidak ada Kristianisme. Karena agama terakhir ini dalam sejarahnya juga bukan tidak sering terlibat dalam berbagai bentuk kekerasan.

Imam Feisal Abdul Rauf, penggagas masjid di Lower Manhattan yang dianggap terlalu dekat dengan lokasi 'Ground Zero' 9/11, memandang istilah ini tidak menolong bagi terciptanya pemahaman lebih baik terhadap Islam. Sebaliknya, dapat membuat dan meningkatnya ketegangan di antara masyarakat Barat dan kaum Muslim.

Karena keberatan-keberatan itu sebagian akademisi lain memberikan beberapa kualifikasi, meski tidak selalu memadai. James Piscatori, ahli tentang politik Islam, secara hati-hati mengartikan Islamisme sebagai ideologi yang dipegang Muslimin yang memiliki komitmen pada aksi politik untuk mengimplementasikan apa yang mereka pandang sebagai agenda Islam. Don Emmerson menambahkan, Islamisme adalah komitmen dan isi dari agenda Islam tersebut.

Hemat saya, pengertian ini masih perlu penjelasan lebih lanjut karena umumnya Islamisme tetap dipahami secara pejoratif, yakni ideologi kekerasan yang dipegang dan diimplementasikan individu-individu dan kelompok Muslim dalam upaya mencapai agenda-agenda mereka, seperti pembentukan negara Islam dan penegakan syari'ah. Padahal, jelas ada orang-orang dan kelompok Muslimin yang juga memiliki komitmen pada ideologi Islamisme berusaha mencapai agenda Islam dengan cara-cara damai melalui proses-proses politik demokratis konstitusional.

GEN RADIKAL DARI YAMAN

Klarifikasi Buya Syafii Maarif di Resonansi Republika

Setelah insiden Monas, banyak reaksi protes dan kecaman muncul. Saking kesalnya terhadap pelaku kekerasan atas nama agama, ada yang keceplosan sehingga menimbulkan masalah baru.

Buya Syafii Maarif pun mengklarifikasi pernyataannya yang terkesan rasial itu dalam Resonansi Republika. Menurut saya, inilah sikap yang patut dihormati dan diteladani. Silakan membacanya:

Rasisme, Daki Kelam Peradaban


Adalah sahabat saya, pengusaha Maher Algadrie (putra Hamid Algadrie, seorang pejuang nasional dari Partai Sosialis Sutan Sjahrir), yang pernah bertutur kepada saya bahwa dari keturunan Arab Yaman ada yang punya gen radikal dan revolusioner. Saya tidak tahu apakah seorang Habib Rizieq Shihab, Abu Bakar Ba’asyir, Abdullah Sungkar, Habib Alhabsyi, dan sederetan yang lain, punya nasab revolusioner dari Yaman itu. Watak radikal dan revolusioner dengan mudah sekali dapat berubah menjadi beringas jika lepas kendali dari akal sehat dan kejernihan sikap.

Tetapi, kita jujur bahwa ideologi radikal ini tidak hanya dimiliki oleh gen Yaman. Hampir semua suku bangsa di muka bumi punya gen serupa. Untuk Indonesia, sejak 10 tahun terakhir, secara kebetulan dipimpin oleh warga Indonesia keturunan Arab dengan pakaian yang serbakhas Arab. Wawancara saya dengan Sinar Harapan beberapa hari yang lalu, yang menyebut Arab tidak tertuju kepada teman-teman Arab yang berbudaya damai, intelektual, santun, dan menyatu. Dengan pernyataan ini, saya berharap agar riak-riak dan protes-protes kecil yang langsung disampaikan kepada saya oleh teman-teman keturunan Arab, semuanya adalah sahabat saya, posisinya sekarang sudah menjadi terang.

Jika telah terjadi sedikit salah paham, anggaplah Resonansi ini mengakhiri kontroversi itu. Tidak ada niat secuil pun untuk melansir rasisme dalam wawancara itu. Seluruh napas hidup saya mengembuskan formula ini: Lawan segala bentuk rasisme karena ia adalah daki kelam peradaban. Di samping antirasisme, saya juga menentang beringanisme dan budaya kekerasan.

Lebih jauh, saya ingin menjelaskan posisi saya sebagai seorang egalitarian. Berdasarkan pemahaman saya terhadap ayat 13 surat Alhujurat, ”Sesungguhnya kamu yang termulia di sisi Allah adalah yang paling takwa.” Bagi saya, ayat ini adalah deklarasi yang paling fundamental tentang doktrin persamaan posisi manusia di depan Allah dan sejarah.

Siapa pun, tidak peduli keturunan siapa, nasab apa, raja, dan rakyat jelata, punya posisi yang sama untuk merebut dan meraih martabat takwa itu. Di depan ayat ini; raja, sultan, khalifah, pangeran, amir, para habib (haba’ib), qaba’il, sayyid, darah biru, darah kuning, darah campuran, dan mereka yang merasa lebih dari yang lain; tanpa takwa, seluruhnya rontok berguguran dan tidak punya bobot apa-apa di mata Allah. Pertanyaannya adalah mengapa sebagian umat Islam masih saja berbangga diri dengan serbanasab dan keturunan?

Tidak jarang terjadi; melalui akuan keturunan nabi atau keturunan raja si anu, hulubalang si anu; telah berlaku perbudakan spiritual di kalangan sementara umat yang menjadi pengikutnya, pengikut yang telah kehilangan daya kritikal, kejernihan, dan akal sehat, modal yang teramat dasariah bagi manusia merdeka. Dalam pemahaman saya terhadap Alquran, hanya manusia merdeka sajalah yang layak diberi martabat mulia, baik di sini maupun di sana nanti. Budak, tidak semata-mata mereka yang dirantai kakinya. Budak juga mereka yang tidak punya keberanian untuk menjadi menusia merdeka.

Akhirnya, seperti halnya suku-suku lain di muka bumi yang lebih memilih hidup damai, harmoni, dan rukun, keturunan Arab pun berada dalam kategori ini, kecuali kelompok-kelompok beringas dan menganut ideologi kekerasan dalam mencapai tujuan. Dan, ini adalah sebuah penyakit peradaban (baca: kebiadaban) yang terdapat pada semua suku bangsa yang telah kehilangan keseimbangan dalam hidup bermasyarakat. Mereka adalah musuh peradaban yang sebenarnya. Bola sejarah harus digiring ke kutub peradaban, bukan ke kutub lawannya, jika bumi ini mau dijadikan tempat tinggal yang damai, sejuk, dan penuh persaudaraan lintas suku, bangsa, agama, dan latar belakang. (Republika Selasa, 10 Juni 2008)
Judul Diperbaharui oleh Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.

SEKOLAH AGAMA DI BRUNEI

idrus_syah
20-04-2010, 07:18
Brunei Darussalam (Voa-Islam.com) - Dengan lebih dari 400 mahasiswa non-Muslim yang belajar di sekolah-sekolah agama di Brunei saat ini, Kementrian Departemen Agama (MoRA) Brunei sedang mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa guru-guru Depag siap untuk mengajar murid-murid non-muslim mereka dengan cara yang tepat dan peka.

Berbicara tentang meningkatnya jumlah siswa non-Muslim di sekolah-sekolah agama, Kepala Bagian Profesional MoRA Ustadzah Siti Mariam Daud dari Departemen Studi Agama, mengatakan, "Kecenderungan ini lebih tinggi dari biasanya, dan sebagian besar kasus terjadi di sekolah-sekolah agama di luar ibukota. "

Ustadzah Siti Mariam mengatakan situasi tersebut telah menimbulkan ketidakpastian di antara para guru agama karena kebanyakan dari mereka tidak mengetahui hukum dan peraturan dalam mengajar mata pelajaran agama untuk mahasiswa non-Muslim.

"Masalah utama di sini adalah bahwa kebanyakan guru agama di negara tersebut masih ragu tentang hukum mengajar kepada para siswa non-Muslim dan jadi itulah mengapa seminar ini diadakan," katanya.

Sebanyak 450 peserta, yang terdiri dari guru agama dari sekolah dasar dan menengah serta sekolah keagamaan nasional, menghadiri seminar kemarin untuk membahas masalah serta menjelaskan kepada staf pengajar hukum pada pengajaran Al-Quran dan pengetahuan agama siswa non-muslim .

Ustadzah Siti Mariam kemudian mengatakan bahwa sebagian besar siswa yang menyelesaikan studi agama di sekolah-sekolah agama adalah orang-orang pribumi, seperti Dusun, Murut dan Iban, tinggal di daerah pedesaan.

"Kami biasanya punya kasus di mana orang tua non-Muslim bersedia mengirimkan anak mereka ke pelajaran agama sore karena mereka ingin anak-anak mereka untuk belajar tentang Islam. Dan pada akhirnya, hal ini biasanya mengarah ke perpindahan agama (menjadi Muallaf)," katanya.

Ustazah Siti Mariam mengatakan bahwa jumlah total 116 non-Muslim telah diterima mendaftar di sekolah-sekolah agama di Brunei tahun ini, menambah jumlah total menjadi 453 siswa yang telah ada dalam sekolah-sekolah agama di Kesultanan.

"Sama sekali tidak ada pembatasan terhadap non-Muslim yang belajar di sekolah-sekolah agama Brunei. Kami telah menerima non-Muslim untuk mengambil kelas agama selama bertahun-tahun, "tambahnya.

Dia menjelaskan bahwa faktor lain yang menyebabkan kenaikan non-Muslim mengambil sekolah-sekolah agama adalah baru saja diadopsi Sistem Pendidikan Nasional Abad 21 (SPN21).

"Studi Agama telah menjadi subjek inti di bawah SPN21 dan ini wajib bagi semua siswa di Brunei, termasuk non-Muslim, untuk mengambil mata pelajaran agama. Oleh karena itu, siswa non-Muslim telah mengambil kelas agama sore di sekolah-sekolah keagamaan sebagai pelajaran tambahan mereka, "katanya.

Seminar tersebut diadakan kemarin (16/04) di Kantor Mufti Negara dan dengan pembicara petugas Istinbad Hj Abdul Rahman Hj Pengarah Mokti dan petugas Penelitian Agama Mohd Sofian Tengah.

"Tujuan seminar hari ini (kemarin) adalah untuk memberi guru agama pedoman yang tepat untuk mengajar studi agama dan Al-Quran bagi siswa non-Muslim yang mengambil studi agama, baik di sekolah dasar dan menengah atau di sekolah-sekolah agama di Brunei," kata Ustadz Hj Hj Ismail Abdul Manap, Direktur Studi Agama.

Dalam sambutannya, Ustadz Hj Ismail mengatakan bahwa hal itu penting bagi semua guru agama untuk menyadari sepenuhnya fatwa yang dikeluarkan oleh Mufti Negara tentang hukum dan prosedur dalam menangani meningkatnya jumlah non-Muslim yang melakukan studi agama, yang telah juga menjadi subyek inti dalam Sistem Pendidikan Nasional yang baru di sekolah dasar dan menengah.

"Pembicaraan ini diharapkan akan menghapus ketidakpastian yang ada di antara para guru pada hukum-hukum dan peraturan siswa non-muslim belajar Al-Quran dan Islam, dan untuk memastikan para guru ini akan lebih percaya diri dalam mengajar mereka dan mencegah siswa dari membuat kesalahan yang dapat merusak kesucian dari Al-Quran," katanya menambahkan. (bfm)

Selasa, 02 November 2010

FILSAFAT ILMU

Terkadang ahli menulis dengan dasar-dasar ilmu, terkadang menulis obyek kajian filsafat ilmu, tetapi yang dimaksud sama, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi adalah pembahasan filsafat paling tua. Idealisme, realisme, dualisme, pluralisme adalah merupakan paham ontologis. Ontologi adalah menjawab pertanyaan apa, epistemologi menjawab pertanyaan bagaimana, dan aksiologi menjawab pertanyaan untuk apa. Jujun menyebutkan bahwa ontologi membahas persoalan hakekat sesuatu. Epistemologi membahasa bagaimana mendapatkan pengetahuan dan oleh sebab itulah epistemologi disebutkan filsafat pengetahuan. Adapun aksiologi adalah filsafat nilai.

A. Ontologi
Jujun Suriasumantri merinci dalam pertanyaan apa itu ontologi. Menurutnya ontologi menjawab pertanyaan berikut ini?
1. Obyek apa yang ditelaah ilmu?
2. Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek ilmu?
3. Bagaimana hubungan antara obyek ilmu dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan?
Dengan jumlah pertanyaan yang sama, M. Zainuddin juga menulis bahwa ontologi adalah menjawab tiga pertanyaan yang kelak menyebabkan aliran filsafat, yaitu what is being (apa itu yang ada?), how is being (bagaimana yang ada itu?), dan where is being? (dimana yang ada itu?). Dari tiga pertanyaan ini melahirkan aliran filsafat monisme, idealisme, dualisme, dan agnogtisme.
Adapun Amsal Bakhtiar menulis bahwa ontologi mencoba menerangkan hakekat dari segala sesuatu. Jawabannya berupa materi dan rohani. Selanjutnya Amsal Bakhtiar mengatakan hakekat itu terdiri dari segala yang ada dan mungkin ada. Hakekat ada realitas dan riil artinya kenyataan yang sebenarnya. Dengan demikian ontologi itu adalah hakekat sesuatu. Hakekat sesuatu adalah kenyataan yang sebenarnya dari sesuatu baik berupa materi atau immateri. Untuk itulah Ahmad Tafsir mengatakan bahwa hakikat sains adalah menjawab pertanyaan apa sains itu sebenarnya.
Dari uraian di atas secara sederhana dapat dipahami bahwa ontologi itu mendefenisikan sesuatu, seperti apa itu sains? Apa itu manusia? Apa itu jin? Apa itu malaikat? Dan sebagainya. Untuk itulah M. Zainuddin mengatakan secara singkat ontologi itu menjawab pertanyaan apa? Dengan kata lain, ontologi itu untuk memahami konsep secara mendalam.
Apa itu manusia? Bisa jadi orang menjawab manusia adalah hewan yang berbicara. Tentu itu sudah menjawab sebagian dari hakekat manusia, tetapi bisa jadi hakekat manusia yang paling rendah atau yang terrendah. Artinya jika ada manusia yang tidak menggunakan hakekatnya bisa berbicara, maka hilanglah makna dari manusianya. Dengan demikian, ontologi itu bisa juga berarti makna yang bukan dalam pengertian aksiologi (nilai).
Jika dianalisis lebih tajam, manusia bukan sekedar hewan yang berbicara. Jika itu, maka boleh jadi orang akan mengatakan bahwa binatang dan bahkan tumbuh-tumbuhanpun juga berbicara dengan bahasa mereka masing-masing. Untuk meningkatkan itu, maka dikatakanlah manusia itu makhluk yang berpikir. Dengan akal yang dianugerahkan oleh Allah, manusia mengaktifkannya. Aktivitas akal itu disebut dengan berpikir secara sederhana. Dengan demikian, manusia yang tidak berpikir telah mengurangi hakekatnya sebagai manusia.
Kembali lagi, jika kritisi, manusia hakekatnya bukan sekedar berpikir, karena dalam pengertian terbatas kata Prof. Dr. Andi Hakim Nasution, binatang pun berpikir, walaupun untuk kelangsungan hidupnya saja (survive). Tetapi jika dikatakan bahwa manusia itu makhluk yang berpotensi berpikir ilmiah, maka berpikir ilmiah adalah salah satu hakekat dari manusia.
Jika kita identifikasi hakekat manusia yang dikemukakan di atas, manusia itu berbicara, berpikir, dan berpikir ilmiah. Dikritisi lagi lebih dalam lagi, hakekat manusia bukan itu saja, tetapi manusia adalah khalifatullah. Sebagai, khalifatullah, manusia berkewajiban misi Tuhan dalam menciptakan alam semesta ini. Jika Allah berfirman jangan membuat kerusakan di muka bumi ini setelah dijadikan baik, maka kita berkewajiban menjaga bumi dari kerusakan, jika tidak, maka hakekat kita sebagai manusia berkurang nilainya. Hakekat manusia sebagai khalifatullah tentu lebih dalam dan tinggi dari berbicara, berpikir, dan berpikir logis. Tentu banyak lagi yang bisa disebutkan tentang hakekat manusia, di antaranya manusia adalah makhluk spritual. Manusia adalah makhluk dinamis.

Tugas:
Uraikanlah ontologi pendidikan Islam

Dosen: Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.

STAIN MALIKUSSALEH

KEPADA PAI SEMESTER I UNIT 1 dan 2 (MATA KULIAH TEKNIK PENULISAN KARYA ILMIAH

TEORI

Dalam makna sederhana, teori itu pendapat ahli. siapa ahli itu? Secara akademik, ahli itu yang bergelar Profesor. Ketika seorang Profesor berbicara tentang bidang keahliannya, maka itu sah disebut teori. Jika ia tidak bicara tentang bidang keahliannya, maka tidak bisa disebut dengan teori.

Teori dalam pengertian ilmiah, yang menghubungkan antar variabel. Sesuatu yang bisa menjelaskan hubungan kausalitas dari variabel-variabel itu adalah teori. Contoh teori motivasi belajar. Peserta didik akan termotivasi belajar, jika gurunya profesional, ramah, good face, terampil dalam menggunakan metode mengajar, dan sebagainya. Bagaimana hubungan antara guru yang profesoinal dengan motivasi belajar peserta didik, dapat dijelaskan. Yang menjelaskan itu adalah teori. Guru yang profesional adalah menguasai materi pelajaran dan menguasai metode mengajar. Dengan profesionalismenya guru bisa menjelaskan pelajaran, sehingga peserta didik paham pelajaran. Jika peserta didik paham pelajaran, maka ia merasa nyaman belajar, karena ketika ditanya, maka ia bisa menjawab. Jika peserta didik paham suatu pelajaran, maka akan memudahkannya untuk memahami pelajaran selanjutnya yang ada hubungannya dengan pelajaran selanjutnya. Dengan demikian, peserta didik semakin termotivasi belajar.

Tugas:
Kemukakan 5 teori pendidikan Islam dan komentarilah teori itu secara ilmiah dengan memperhatikan aturan penulisan karya ilmiah. Kumpulkan pada hari Sabtu, 6 November 2010

Dosen: Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.

Senin, 01 November 2010

Nilai-Nilai Ibadah Kurban

Konsep nilai dilihat dari tiga tahap, yaitu dari willing (niat), acting (perbuatan), dan implication (akibat). Pada tahap niat, tentu syariatnya untuk Allah. Untuk Allah berarti melakukan ibadah kurban sebagai rasa cinta kepada Allah. Cinta akan melahirkan ketaatan tanpa perhitungan. Untuk menguji niat yang baik juga akan dilihat dari pelaksanaan niat itu sendiri. Pelaksanaan niat yang baik dalam ibadah kurban akan melahirkan kualitas kurban yang baik. Orang yang cinta pada Allah, tidak hanya akan berhitung bahwa berkurban hanya satu kali seumur hidup, tetapi setiap hari raya kurban, ia mestinya mempersembahkan hewan kurban. Mempersembahkan hewan kurban juga tentu tidak terbatas hanya satu ekor kambing, tetapi mempersembahkan sebanyak dan sebaik mungkin. Apa akibat dari ibadah kurban ini? Kemungkinan hasil dari ibadah kurban terhadap orang fakir dan miskin, mereka merasakan makan daging yang kemungkinan hanya mereka nikmati secara musiman, tidak seperti orang kaya, bisa mengkonsumsi daging kapan mereka mau. Orang yang fakir dan miskin akan menyadari kehadiran orang kaya di dunia ini karena bisa terkadang membahagiakan mereka dan membantu keperluan mereka. Kaum fakir miskin menyadari bahwa manusia ini bersaudara yang saling menyanyangi. Selain itu kaum pada diri fakir dan miskin bisa jadi terbangun psikologi ”tangan di atas”, sehingga membangunkan semangat untuk menjadi pemberi di suatu saat.
Psikologi tangan di atas perlu dibangun dipupuk dan dikembangkan, sebab kesan saya al-Qur’an lebih banyak mengecam orang-orang yang kikir. Seruan untuk memberi dengan segala bentuk lebih mendominasi dalam al-Qur’an, karena al-Qur’an menurut Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif pro orang miskin, tetapi membenci kemiskinan. Untuk itulah tidak kita temukan perintah menerima wakaf, zakat, infak, dan shadaqah di dalam al-Qur’an.
Ibadah kurban bagi yang melaksanakannya akan melahirkan sikap syukur terhadap nikmat Allah (tahadduts bi al-ni’mah). Kekikiran menghimpun segala keburukan dan aib dan ia adalah kendali yang menuntun kepada setiap kejelekan. Nilai ibadah kurban akan terbakar dengan riya dan sum’ah. Riya berarti berbuat baik bukan untuk Allah, tetapi untuk pamer dan unjuk kemampuan. Sum’ah adalah menceritakan kebaikan untuk menciptakan kesan yang baik bagi pendengar. Baik riya maupun sum’ah, keduanya merekayasa kesan menurut Jalaluddin Rakhmat.

Penulis: Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.

NAIK HAJI, APA YANG KAMU CARI?

Dalam cerita sufi dikisahkan bahwa ada sepasang suami istri yang tergolong bukan orang kaya, tetapi memiliki hasrat besar untuk menunaikan ibadah haji. Mereka berdua mulai menabung, sampai tabungan mereka mencukupi untuk biaya berangkat menunaikan ibadah haji.
Dalam perjanan mereka menuju Mekah, mereka melewati suatu kampung yang penduduknya umumnya miskin. Mereka melihat anak-anak menderi penyakit busung lapar. Selain itu mereka juga melihat anak-anak tidak berpakaian. Rasa iba muncul dalam hati mereka berdua. Mereka berdua berpikir sejenak, pergi haji adalah wajib. Membantu yang lemah juga adalah wajib. Jika mereka melaksanakan ibadah haji, itu hanya untuk keperluan mereka berdua. Tetapi jika mereka membantu penduduk yang miskin, maka keperluan orang banyak lebih dari dua orang.
Akhirnya mereka mengurungkan niat untuk melanjutkan perjalanan ke Mekah dan menyedekahkan semua bekal mereka untuk penduduk miskin itu. Setelah itu mereka pulang kampung ke rumah. Ketika pulang kampung, mereka ketemu dengan orang yang tidak dikenal dan mengucapkan, ”Selamat datang dari haji mabrur wahai hamba Allah yang mulia.”
Mendengar ungkapan itu tentu mereka heran dan tidak mengerti, padahal mereka tidak berangkat haji. Mereka menerangkan kenyataannya, tetapi malah orang itu menjelaskan, bahwa yang demikianlah yang disebut dengan haji mabrur.
Dalam cerita sufi tidak usah mempersoalkan kebenaran kisahnya, tetapi substansinya itu dapat ditangkap tanpa keraguan. Artinya, ibadah haji hendaknya berdampak besar pada sikap solidaritas sosial dengan mengimplementasikan nilai-nilai ada syariat haji yang bersifat vertikal dan horizontal. Jika inti ibadah haji itu adalah wukuf di ’Arafah, maka hendaknya hujjaj dapat menjungjung tinggi dan mengamalkan apa yang ada dalam Khutbah Perpisahan Muhammad Saw.
Sebagaimana diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa isi dari khutbatul wada’ adalah menghormati keselamatan jiwa dan raga manusia, menghargai kehormatan harta manusia, menghormati martabat manusia dari segala hal, termasuk kehormatan wanita dari kewanitaan mereka. Menghilangkan rasisme dan rasialisme sebagai bagian dari dosa makhluk yang pertama.
Kualitas haji yang mabrur tidak dilihat dari cara memperoleh bekal, tidak juga dilihat dari tingkat kepayahan dalam melaksanakannya. Haji yang mabrur adalah haji yang berhasil membuang sifat-sifat kebinatangan dan menyerap sifat-sifat ketuhanan. Ketika melihat gemuruh dzikir orang-orang yang melaksanakan thawaf, Abu Bashir terpesona, sementara Ja’far al-Shadiq mengusap mukanya dan menyaksikan di sekitar baitullah banyak sekali binatang. Mereka itu berhaji dan melaksanakan semua rukunnya dalam perspektif fiqh, tetapi akal dan hati mereka masih mengidap penyakit kebinatangan. Binatang tahu mana yang enak mana yang tidak enak, tetapi binatang tentu tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Orang-orang yang ”tahu enak” dan tidak mau tahu yang baik adalah binatang berbaju manusia. Urusan enak berhubungan dengan persoalan biologis. Persoalan biologis yang banyak diladeni adalah makan, minum, dan seksual. Untuk itulah dalam berpuasa, tiga sarana biologis itu diikat untuk sementara waktu.
Haji yang diterima oleh Allah disebut dengan mabrur. Menurut hadits yang diriwayatkan Ahmad bahwa haji mabrur itu memberi makan orang miskin dan menyebarkan salam. Hadits tersebut secara ekplisit mengungkapkan unsur materil (fisik) dan immateril (psikis).
Mabrur mengandung tindakan berupa pertolongan konkrit terhadap orang lain. Konsep wakaf, zakat, infak, dan shadaqah adalat bentuk kebaikan konkrit dari mabrur. Nilai suatu harta bisa dilihat dari seberapa besar wakaf, zakat, infak, dan shadaqah seseorang. Karena tidak semua orang memiliki peluang yang sama dalam berbuat kebaikan (mabrur) dengan harta, maka jalan kemabruran itu juga dapat dilakukan dengan menyebarkan salam dengan tenaga dan pemikiran. ”Memberi kail ada kalanya lebih baik dari memberi ikan” Mendidik ada kalanya lebih baik daripada memberikan bantuan secara materil. Sebaliknya ada kalanya memberi ikan lebih baik dari memberikan kail. Jika ada orang yang sedang lapar, maka memberi makan lebih baik daripada memberikan uang. Kemabruran bisa dinilai dari fungsionalnya suatu bantuan. Semakin fungsional suatu bantuan, maka kemabrurannya semakin baik.

Penulis: Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.

PEDAGANG JUGA HARUS BERIMAN

Pada musim haji, biasa para keluarga colon haji mengunjungi keluarganya di Asrama Haji. Para anggota keluarga yang berkunjung seringkali membawa anak-anak. keinginan jajan anak biasanya tanpa konpromi.

Momentum yang tidak lama itu biasanya dimanfaatkan oleh pedagang oportunis. Mereka menjajakan aneka jajanan dan mainan dan dengan terampil menawarkannya kepada "makhluk-makhluk yang lemah akal dan hati". Ketika penawaran dimulai dan anak-anak mulai meresponnya dengan senang hati sedangkan para orang tua atupun walinya, khususnya dari keluarga yang bukan "the have" mereka kesal dengan para pedagang dan anak.

Para pedagang sudah lama paham, jika permintaan anak tidak dipenuhi, maka jurus ampuh akan dikeluarkan oleh para anak-anak dengan menangis sekeras mungkin. Jurus itu sering kali ampuh untuk mencapai hobbinya, yaitu hobbi berjajan. Jajan bagi anak-anak lebih pada urusan style daripada kebutuhan. tak jarang juga sebaliknya, anak-anak yang lemah pikiran dan hati itu jadi "korban kekerasan". Mereka ada yang dicubit, sehingga memperbesar volume tangisan karena perasaan sakit fisik, dan bahkan ada juga yang dipukul, tetapi tetap tidak menyelesaikan masalah. anak-anak anak-anak. namanya juga anak-anak.

Ketika orang tua atau wali anak-anak sudah mulai mencoba mengabulkan permintaan para anak-anak, hampir semua pedagang tidak malu memberikan harga jajanan di luar kebiasaan. Aqua yang Rp. 500 menjadi Rp. 1.000. Harga susu anak Rp. 2.500 menjadi Rp. 5.000 dan sebagainya. Ketika hatinya ditanya, ia menjawab, "Mumpung jauh pedagang lain" "Cuman sekali-kali" "Mumpun orang tua terpaksa membeli". Aji mumpung terlalu banyak lahir di dunia ini. Para panitia jemahaan haji juga tidak ketinggalan melakukan kreasi "aji mumpung" untuk menarik keuntungan dan hampir tidak perduli perasaan para calon haji yang dongkol hanya dengan jurus "untuk beribadah" tidak perlu banyak protes. PEDAGANG JUGA HARUS BERIMAN!

Penulis: Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.

Sains Islam dan Islamisasi Sains

Berkurangnya pengaruh ideologi Islam di negara-negara Islam di Eropa seperti Spanyol, negara India, Sisilia, dan sebagainya, turut mempengaruhi jarangnya orang Barat membicarakan Islam sebagai ajaran. Selain itu, kantor-kantong indeologis Islam yang dijajah oleh negara non Muslim seperti Mesir, Turki, Malasyi, dan Indonesia juga diduga dipengaruhi oleh ajaran non Islam yang sebagaian dianggap sekuler.
Belakangan ini, ada sebagian orang Muslim bersikap menolak terhadap semua ilmu pengetahuan yang datang dari Barat karena diangap sekuler. Untuk memajukan Islam harus kembali pada al-Qur’an, al-Sunnah, dan warisan Islam di zaman klasik. Sebagian lainnya berpendapat bahwa ilmu itu netral tidak berurusan Islam dan tidaknya. Adalagi yang lebih akomodatif menerima perkembangan ilmu pengetahuan dari Barat dengan mengatakan ilmu pengetahuan yang sekuler itu juga dapat diterima oleh Islam setelah dilakukan islamisasi.
Adakah ilmu Islam? Jika ada ilmu Islam, perlukah ilmu-ilmu dari Barat itu diislamkan? Tanggapannya adalah beragam dari yang mengatakan adanya ilmu Islam dan perlu diadakan islamisasi ilmu. Sementara ada yang berpendapat bahwa ilmu Islam itu tidak ada, maka tidak perlu mengadakan islamisasi ilmu.
Fazlul Rahman, Ziauddin Sardar, dan Mohammad Arkoun, termasuk orang yang tidak sependapat dengan islamisasi ilmu. Tindakan islamisasi ilmu menurut Arkoun justru mempersempit Islam sebagai ajaran yang univesal yang dianggap hanya bersifat ideologi. Sementara Rahman berpendapat islamisasi ilmu menjadikan ilmu Islam berada pada pisisi subordinat dari ilmu-ilmu modern. Selanjutnya ia mengatakan bahwa seharasnya ilmu dimulai dari al-Qur’an dan tidak berakhir di al-Qur’an. Rahman sepertinya berpendapat bahwa semua teori ilmu bisa dilahirkan prinsipnya dari al-Qur’an, sedangkan teknisnya yang lebih rinci didapatkan dari penelitian ilmiah. Adapun Sardar menganggap islamisasi ilmu itu naif yang justru akan membaratkan ilmu-ilmu Islam. Bukan ilmu-ilmu Islam yang diadaptasikan, tetapi sebaliknya, ilmu-ilmu Barat itulah yang harus diadaptasikan terhadap ilmu-ilmu Islam. Islamisasi ilmu ibarat meletakkan kereta di depan kuda. Hal senada juga dikatakan oleh Usep Fathuddin bahwa islamisasi tidak perlu karena itu bukan kerja kreatif dan tidak ilmiah. Islamisasi ilmu hanya ”kerja kreatif” atas karya orang saja. Yang kita butuhkan adalah mengembangkan ilmu pengetahuan. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa islamisasi ilmu-ilmu Barat itu bagaikan menggantungkan ”kaligrafi” dalam karya pertukangan. Lebih tepatnya, islamisasi itu tukang lebel ilmu yang telah ditemukan orang lain.
Lain halnya dengan Mulyanto yang berpendapat islamisasi ilmu merupakan proses penerapan etika Islam dalam pemamfaatan ilmu tersebut. Selain itu, katanya islamisasi ilmu sebagai proses pemurnian ilmu pada prinsif-prinsif tauhid, kesatuan makna kebenaran, dan kesatuan ilmu pengetahuan. Secara implisit Haidar Bagir mengatakan perlu islamisasi ilmu dengan mengatakan bahwa perlu dibentuknya sains yang islami. Ada dua alasan pokok kenapa dibutuhkan sains yang Islami menurut Haidar Bagir. Pertama, ilmu-ilmu dari Barat materialis, sedangkan kita membutuhkan sains yang sintesis dari materi dan spritual. Kedua, secara sosiologis, ilmu pengetahuan yang diciptakan oleh Barat dirumuskan untuk kepentingan masyarakat mereka sendiri. Mulyadi Kertanegara berpendapat bahwa islamisasi ilmu bisa dibutuhkan dan bisa tidak. Dibutuhkan tatkala dilihat bertentangan dengan ajaran Islam secara filosofis. Karena sains Barat dibangun berdasarkan filsafat Barat yang jelas berbeda dengan filsafat Islam. Dengan demikian saat ini, islamisasi ilmu jelas dibutuhkan.
Walaupun ada perbedaan pendapat terhadap islamisasi ilmu, menurut Abuddin Nata, umat Islam sepakat bahwa ilmu pengetahuan yang dibangun dari dasar-dasar ajaran Islam diperlukan. Artinya, dipersoalan nama (aksidental), dimana orang bisa berbeda, tetapi pada persoalan substansi orang sependapat. Pengembangan ilmu pengetahuan diperlukan di satu sisi, dan islamisasi ilmu juga di sisi lain juga diperlukan untuk misi ketuhanan. Menurut Abudinata lagi orang yang tidak setuju dengan istilah islamisasi ilmu berpendapat bahwa mereka yang pro islamisasi ilmu, terkesan merasa gengsi menerima ilmu pengetahuan dari Barat, sehingga perlum mengislamkannya. Sementara mereka yang pro islamisasi ilmu tidak mengingkari perlunya sains Islam yang mandiri, tetapi tidak salah mengadaptasikan ilmu dari Barat dengan Islam sebagaimana dulu juga Barat mengambil sains dari Islam dan mengadaptasikannya dengan budaya mereka. Penulis sepakat bahwa ilmu-ilmu modern yang datang dari Barat perlu disensor berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Islam. Yang lulus sensor harus dijustifikasi dengan jujur dan sekaligus disebarluaskan. Sementara yang tidak lulus sensor, Islam dapat mengoreksi dan bahkan menyalahkannya dengan menggantinya dengan kebenaran yang baru.
Gerakan islamisasi ilmu secara faktual dapat dilihat dari berdirinya lembaga penelitian Internasional Institute of Islamic Thought (IIIT) di Amerika Serikat yang dipelopori oleh Ismail al-Faruqi dan Internasional Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Malasyia oleh Naquib al-Attas. Baik al-Faruqi maupun al-Attas melihat adanya krisis dalam basis ilmu pengetetahuan modern mengenai realitas dan filsafatnya, sehingga, islamisasi ilmu dibutuhkan.
Tanpa mempersoalkan siapa yang menggagas pertama kali, jauh-jauh hari sebelum al-Faruqi dan al-Attas berbicara tentang islamisasi ilmu, menurut Dawan Rahardjo, Syah Wali Allah dan Sir Sayyid Ahmad Khan abad ke-18 dan ke-19 telah berbicara tentang ini dengan bukti sejarah Universitas Aligarh di India.
Bagaimana melaksanakan islamisasi ilmu? Mulyanto berpendapat, menjadikan ajaran Islam sebagai landasan aksiologis semua ilmu, tanpa mempersoalankan ontologi dan epistemologinya. Artinya, ilmu pengetahuan dan teknologi produknya netral, tetapi penggunaannya menjadi tidak netral. Pesawat terbang bisa digunakan untuk membawa misi komunis, misi penjahat, misi penjajah, dan sekaligus misi mulia seperti membawa jemaah haji ke Mekah. Penggunaan pesawat untuk kebaikan itulah yang tidak netral yang perlu diislamkan. Hal senada juga disebutkan oleh Doddy Tisnaamidjaja bahwa ilmu pengetahuan tidak mengenal etika, tetapi manusialah yang mengenalnya. Sementara menurut Takdir Ali Syahbana mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak mengenal baik-buruk, indah-tidak indah, cinta-benci, suci dan tidak suci, berguna dan tidak berguna.
Secara umum, menurut al-Faruqi, ada lima program kerja dalam islamisasi ilmu, yaitu:
1. Penguasaan disiplin ilmu modern
2. Penguasaan khazanah Islam
3. Penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern
4. Pencarian sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu modern
5. Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah Swt.

Penulis: Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.