Kuliah
Keempat Tasauf
Paradigma
Baru dalam Melihat Tasauf
Sehat
Sultoni Dalimunthe
1-4-2014
Tasauf pada
mulanya dipandang para ilmuan, khususnya para saintis sebagai disiplin ilmu
yang irrasional Artinya, tidak masuk akal. Sesuatu yang tidak masuk akal pada
mulanya dianggap rendah secara ilmiah. Sesuatu yang bertentangan dengan akal
itu dianggap rendah dan tidak benar.
Kalau
seseorang yang tinggal di Lhokseumawe mengatakan bahwa ia shalat Jum’at di
Mesjidil Haram dan pada hari yang sama dan tanggal yang sama ia Shalat Ashar di
Mesjid Baitul Rahman Lhokseumawe. Logika manusia normal akan mengatakan bahwa
berita itu tidak mengandung kebenaran atau itu suatu kebohongan atau orang yang
menyampaikan itu adalah orang gila dan sekian sebutan yang mengatakan itu tidak
masuk di akal normal manusia. Nilai berita itu sebanding dengan mengatakan ”ada
pohon pepaya berbuah mangga”. Bagi mereka yang mengetahui bahwa pohon pepaya
adalah berbuah pepaya dan tidak pernah berbuah yang lainnya seperti buah
mangga, maka ia akan mengatakan proposisi itu tidak benar atau proposisi itu
mengada-ngada atau proposisi itu tidak perlu ditanggapi. Karena selama ini, ia
tidak pernah melihat hal itu. Sesuatu yang tidak pernah ia lihat, maka ia nilai
salah. Bukankah masih banyak yang tidak pernah kita lihat dan itu ternyata
benar?
Yang tidak
pernah dilihat bukan berarti tidak benar bukan? Pernahkah kita melihat akal,
hati, dan nafsu manusia? itu tidak pernah kita lihat, hanya saja sering kita
baca dan sering dibicarakan, sehingga kita pun yakin bahwa hal itu ada pada
diri manusia. Siapa yang berani mengingkari adanya ruh? sedangkan ruh itu tidak
pernah kelihatan, tapi itu diyakini ada oleh manusia yang normal.
Begitulah
paradigma lama para siantis melihat tasauf, sesuatu yang rendah dan bahkan
tidak bernilai kebenaran, sehingga orang yang bertasauf itu ”dianggap sebelah
mata”.
Sealur
dengan perkembangan tasauf yang awalnya dianggap rendahan pada gilirannya
ternyata dinilai terbalik bahwa tasauf itu adalah disiplin ilmu yang
membutuhkan tingkat rasionalitas yang tinggi, sehingga akal manusia saja tidak
akan sampai menembus pemahamannya. Bagaimana kisah di atas, seseorang yang
tinggal di Lhokseumawe dapat shalat Jum’at di Mesjidil haram, pada hari dan
tanggal yang sama ia shalat Ashar di Mesjid Baitul Rahman Lhokseumawe. Ternyata
proposisi itu harus lagi ditafsirkan dengan nomenklatur tasauf tentang alam
ruh.
Untuk
menjelaskan alam ruh, secara sederhana, bisa dijelaskan bahwa seorang mahasiswi
yang baru tiga hari menikah mengikuti kuliah di STAIN. Pada saat berjalan
perkuliahan di ruang belajar, ternyata fisik dari mahasiswa itu jelas dilihat
hadir. Ternyata akal pikirannya, hati, dan nafsunya masih ada di rumah. Seakan2
akal, hati, dan nafsurnya mengatakan, ”lama kali kuliah ini, saya ingin cepat2
pulang agar ketemu dengan suamiku tercinta yang ganteng dan baik hati.
Belaiannya tadi malam sangat mengesankan. Aku ingin berlama2 dengnnya, dsb”.
Analogi itu dapat memahami gambaran alam ruh orang yang mengatakan shalat Jum’at
di Mesjidil Haram dan shalat Ashar di Mesjid Baitul Rahman Lhokseumawe, Ruhnya
atau jiwanya bisa jadi shlat Jum’at di Mesjidil Haram, sedangkan jasadnya tetap
shalat Jum’at di Mesjid Baitul Rahman Lhokseumawe. Meskipun ia shalat Jum’at di
Baitul Rahman Lhokseumawe, tapi jiwanya hadir di Mesjidil Haram. Begitu ia
shlat Ashar di Mesjid Baitul Rahman pada hari dan tanggal yang sama, ternyata
jiwanya pun tetap shalat di tempat itu dan tidak di Mesjid Bairul Rahman.
Analogi seperti ini dapat diterima oleh akal karena kita bisa mengalaminya.
Kemungkinan
lain bisa juga terjadi bahwa jasad dan ruhnya memang shalat Jum’at di Mesjidil
Haram dengan kekuasaan dan kehendak Allah, sementara pada hari dan tanggal yang
sama ia sudah shalat Ashar di Mesjid Baitul Rahman Lhokseumawe. Itu tidak masuk
akal bukan, tapi Allah pasti mampu melakukannya karena Ia Maha Kuasa dan kuasa
melakukan apa saja, tanpa kecuali, termasuk kuasa membuat matahari terbit dari
Barat dan terbenam di Timur.
Untuk itu,
sekarang ini tasauf dipandang sebagai disiplin ilmu yang menggunakan pendekatan
suprarasional atau supralogis, dimana kemampuan akal yang tinggi, hingga
mendekati akal kehendak Allah. Bertasauf sekarang ini menuntut ketinggian logika.
Orang yang kemampuan logikanya tidak bagus, maka logika tasaufnya dengan
sendirinya akan rendah. Untuk itulah program studi filsafat di Perguruan Tinggi
Islam dengan sendirinya mempelajari tasauf itu sendiri. Disinilah Prof. Dr.
Mulyadhi Kartanegara mengatakan bahwa tasauf ketika dipelajari adalah filsafat,
ketika diamalkan sebagai tasauf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar