Senin, 31 Maret 2014

Paradigma Baru dalam Melihat Tasauf

Kuliah Keempat Tasauf
Paradigma Baru dalam Melihat Tasauf
Sehat Sultoni Dalimunthe
1-4-2014

Tasauf pada mulanya dipandang para ilmuan, khususnya para saintis sebagai disiplin ilmu yang irrasional Artinya, tidak masuk akal. Sesuatu yang tidak masuk akal pada mulanya dianggap rendah secara ilmiah. Sesuatu yang bertentangan dengan akal itu dianggap rendah dan tidak benar.
Kalau seseorang yang tinggal di Lhokseumawe mengatakan bahwa ia shalat Jum’at di Mesjidil Haram dan pada hari yang sama dan tanggal yang sama ia Shalat Ashar di Mesjid Baitul Rahman Lhokseumawe. Logika manusia normal akan mengatakan bahwa berita itu tidak mengandung kebenaran atau itu suatu kebohongan atau orang yang menyampaikan itu adalah orang gila dan sekian sebutan yang mengatakan itu tidak masuk di akal normal manusia. Nilai berita itu sebanding dengan mengatakan ”ada pohon pepaya berbuah mangga”. Bagi mereka yang mengetahui bahwa pohon pepaya adalah berbuah pepaya dan tidak pernah berbuah yang lainnya seperti buah mangga, maka ia akan mengatakan proposisi itu tidak benar atau proposisi itu mengada-ngada atau proposisi itu tidak perlu ditanggapi. Karena selama ini, ia tidak pernah melihat hal itu. Sesuatu yang tidak pernah ia lihat, maka ia nilai salah. Bukankah masih banyak yang tidak pernah kita lihat dan itu ternyata benar?
Yang tidak pernah dilihat bukan berarti tidak benar bukan? Pernahkah kita melihat akal, hati, dan nafsu manusia? itu tidak pernah kita lihat, hanya saja sering kita baca dan sering dibicarakan, sehingga kita pun yakin bahwa hal itu ada pada diri manusia. Siapa yang berani mengingkari adanya ruh? sedangkan ruh itu tidak pernah kelihatan, tapi itu diyakini ada oleh manusia yang normal.
Begitulah paradigma lama para siantis melihat tasauf, sesuatu yang rendah dan bahkan tidak bernilai kebenaran, sehingga orang yang bertasauf itu ”dianggap sebelah mata”.
Sealur dengan perkembangan tasauf yang awalnya dianggap rendahan pada gilirannya ternyata dinilai terbalik bahwa tasauf itu adalah disiplin ilmu yang membutuhkan tingkat rasionalitas yang tinggi, sehingga akal manusia saja tidak akan sampai menembus pemahamannya. Bagaimana kisah di atas, seseorang yang tinggal di Lhokseumawe dapat shalat Jum’at di Mesjidil haram, pada hari dan tanggal yang sama ia shalat Ashar di Mesjid Baitul Rahman Lhokseumawe. Ternyata proposisi itu harus lagi ditafsirkan dengan nomenklatur tasauf tentang alam ruh.
Untuk menjelaskan alam ruh, secara sederhana, bisa dijelaskan bahwa seorang mahasiswi yang baru tiga hari menikah mengikuti kuliah di STAIN. Pada saat berjalan perkuliahan di ruang belajar, ternyata fisik dari mahasiswa itu jelas dilihat hadir. Ternyata akal pikirannya, hati, dan nafsunya masih ada di rumah. Seakan2 akal, hati, dan nafsurnya mengatakan, ”lama kali kuliah ini, saya ingin cepat2 pulang agar ketemu dengan suamiku tercinta yang ganteng dan baik hati. Belaiannya tadi malam sangat mengesankan. Aku ingin berlama2 dengnnya, dsb”. Analogi itu dapat memahami gambaran alam ruh orang yang mengatakan shalat Jum’at di Mesjidil Haram dan shalat Ashar di Mesjid Baitul Rahman Lhokseumawe, Ruhnya atau jiwanya bisa jadi shlat Jum’at di Mesjidil Haram, sedangkan jasadnya tetap shalat Jum’at di Mesjid Baitul Rahman Lhokseumawe. Meskipun ia shalat Jum’at di Baitul Rahman Lhokseumawe, tapi jiwanya hadir di Mesjidil Haram. Begitu ia shlat Ashar di Mesjid Baitul Rahman pada hari dan tanggal yang sama, ternyata jiwanya pun tetap shalat di tempat itu dan tidak di Mesjid Bairul Rahman. Analogi seperti ini dapat diterima oleh akal karena kita bisa mengalaminya.
Kemungkinan lain bisa juga terjadi bahwa jasad dan ruhnya memang shalat Jum’at di Mesjidil Haram dengan kekuasaan dan kehendak Allah, sementara pada hari dan tanggal yang sama ia sudah shalat Ashar di Mesjid Baitul Rahman Lhokseumawe. Itu tidak masuk akal bukan, tapi Allah pasti mampu melakukannya karena Ia Maha Kuasa dan kuasa melakukan apa saja, tanpa kecuali, termasuk kuasa membuat matahari terbit dari Barat dan terbenam di Timur.
Untuk itu, sekarang ini tasauf dipandang sebagai disiplin ilmu yang menggunakan pendekatan suprarasional atau supralogis, dimana kemampuan akal yang tinggi, hingga mendekati akal kehendak Allah. Bertasauf sekarang ini menuntut ketinggian logika. Orang yang kemampuan logikanya tidak bagus, maka logika tasaufnya dengan sendirinya akan rendah. Untuk itulah program studi filsafat di Perguruan Tinggi Islam dengan sendirinya mempelajari tasauf itu sendiri. Disinilah Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara mengatakan bahwa tasauf ketika dipelajari adalah filsafat, ketika diamalkan sebagai tasauf.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar