Perbandingan
Cara Pandang Filsafat dan Tasauf Melihat Tuhan
Kuliah
Kelima Tasauf
Sehat
Sultoni Dalimunthe, M.A.
A. Filsafat Ketika Dipelajari Tasauf Ketika Diamalkan
Perlu
dikemukakan kembali pendapat Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara bahwa tasauf itu
ketika dipelajari sebagai filsafat, tetapi ketika diamalkan sebagai tasauf.
Untuk itu sebagian berpendapat termasuk Mulyadhi bahwa tasauf itu tidak bisa
dipelajari, tetapi bisa diamalkan saja. Artinya, bertasauf itu urusan praktek
bukan teori.
Pernah kita
Anda berbuat kebaikan dengan tulus ikhlas karena kebaikan itu merupakan kepribadianmu.
Dalam makna seperti ini, tasauf bagaikan akhlak, yaitu perbuatan baik yang
dengan mudah dan ringan dilaksankan tanpa proses berpikir. Karena ini urusan
dalam, maka susah dinilai dengan benar. Selain itu, di zaman sekarang agak
susah kita mendapat manusia yang tulus berbuat baik. Ciri-cira manusia seperti
ini, ia lebih mengutamakan orang lain daripada dirinya. Di satu sisi, orang
bilang bagaikan lilin, menerangi, tetapi ia hancur. Dalam konsep tasauf tentu
tidak bisa disamakan dengan lilin. Yang dapat diterima, itulah pengorbanan.
”Suka
berkorban”, tapi bukan jadi korban.
Berkorban itu nilainya tinggi, sementara korban nilainya rendah. Dus, dua
konsep yang sangat berjauhan antara berkorban dan korban. Berkorban itu
perbuatan mulia, sementara korban itu akibat kelemahan, sehingga mengundang
belas kasihan. Kalau bukan karena konsep pengorbanan buat apa Rasulullah Saw.
memperjuangkan Islam ini. Resistensi ia dapatkan dari dalam dan luar. Ia siap
dimusuhi oleh keluarga terdekatnya, bahwa siap untuk mempertaruhkannya nyawanya
untuk Islam sebagai ketaatan kepadaNya.
Na’uzu
billah, iman kita boleh jadi lemah. Kekuatan iman itu akan kelihatan ketika
behadapan dengan tantangan kehilangan nyawa. Sahabat Rasul dulu banyak yang
bercita-cita mati syahid dalam peperangan. Sekarang ini, kesiapan mati syahid
demi ketaatan kepada Allah boleh jadi cerita yang jarang kita dengar.
Alkisah
menceritakan bahwa ada seorang ust. yang punya penyakit mag, sehingga ia
dilarang oleh dokter puasa. Karena sudah lama ia tidak puasa, suatu saat jiwa
ketaatannya melawan dan berkata, ”saya akan puasa walaupun harus mati”. Mungkin
seperti inilah kualitas jiwa yang diinginkan oleh tasauf itu.
Filsafat
berbicara dengan akalnya sementara tasauf dengan hatinya. Dalam pandangan
filsafat itu, Tuhan itu sangat jauh dan tidak terjangkau. Akal tidak pernah
selesai jika berbicara Tuhan, karena Tuhan itu Maha Gaib, tapi menurut Mulyadhi
justru Ia Paling Nyata, karena Ialah yang pasti Ada dan mustahil tiada,
sementara yang lainnya, tiada karena ia mungkin menjadi tidak ada.
Tasauf
memangdang Tuhan itu sangat dekat, bahkan lebih dekat dari urat nadi kita.
Mereka merujuk dari Q.S. Qaf/50: 60.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا
الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ
حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya, ”Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui
apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya
dari pada urat lehernya,” (Q.S. Qaf/50: 60.)
Karena Tuhan
begitu dekat dalam pandangan tasauf,
maka terkadang mereka tahu apa yang diketahui Tuhan karena diberitahu
olehNya. Itulah yang kelak yang dipelajari dalam pembahasan ”ma’rifah”. Kalau
tidak tahu batasannya seakan-akan sufi itu seperti dukun yang bisa mengetahui
hal yang gaib. Bedanya dukun kalau ditanya selalu bilang tau. Sementara sufi
yang memiliki ma’rifah tidak selama ia tau. Ia tau karena diberitau oleh Tuhan
dan ia tidak tau, jika tidak diberitahuNya. Dukun selalu tau, jika ia tidak
tau, maka ia menjadi tidak dukun lagi. Dukun mengetahuinya bukan dari Tuhan,
tapi dari cara yang tidak dibenarkan agama dan cenderung mereka menduga-duga
saja, walaupun terkadang tebakan mereka benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar