KULIAH TASAUF
PERTEMUAN PERTAMA
11 MARET 2014
PENGANTAR TASAUF
A.
Sejarah Lahirnya
Tasauf
Disiplin ilmu yang
pertama kali lahir dalam Islam adalah al-Qur’an dan tafsir. Hal itu dapat
dipahami karena al-Qur’an adalah wahyu yang turun secara bertahap sebagai
panduan hidup manusia menuju akhirat. Selanjutnya, karena penyampai al-Qur’an
itu adalah Rasulullah Saw., maka disiplin ilmu yang berkembang selanjutnya
adalah hadits dan tafsir hadits walaupun yang terakhir ini tidak lazim disebut.
Dikemudian hari dipandang perlu lahirnya Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits
sebagai teori-teori al-Qur’an dan hadits. Disiplin ilmu kalam selanjutnya
berkembang, khususnya di saat awal khilafah Ali bin Abi Thalib yang bibitnya
telah muncul di saat Rasulullah Saw. wafat, ketika membicarakan tentang siapa
yang berhak menggantikan Rasulullah Saw. sebagai pemimpin. Ilmu Fiqh walaupun
tidak berdiri secara khusus, tetapi pelajaran al-Qur’an sendiri telah banyak
membicarakan fiqh karena ilmu itu menyangkut persoalan-persoalan teknis, hanya
saja ilmu itu lahir dan berkembang secara formal pada saat lahirnya Imam
Madzhab pada masa Sahabat dan berkembang pesat pada masa Tabi’in. Tasauf
sesungguhnya lahir pada masa Tabi’in Tabi’in.
Kelahiran tasauf
diduga kuat pada saat manusia telah banyak yang berpaling dari ajaran Allah,
termasuk para pemimpin. Ketika kelompok yang resah dengan perilaku buruk itu
mengingatkan para pemimpin untuk kembali ke jalan yang benar, tetapi tidak
mendapat respon yang baik, maka mereka mulailah menyusun kelompok yang perduli
dengan ajaran Allah. Komunitas yang perduli dengan ajaran Allah itu, akhirnya
ada yang mengasingkan diri untuk berkonsentrasi mendekatkan diri kepada Allah.
Inilah yang kemudian disebut dengan kalangan Sufi. Dus, tasauf bisa disebut
lahir dari keprihatinan bertuhan.
B.
Pengertian Tasauf
Banyak cara memahami
tasauf, di antaranya dapat disebutkan bahwa tasauf adalah disiplin ilmu yang
ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan jarak yang sedekat-dekatnya. Tasauf
adalah disiplin ilmu berurusan dengan hati. Tasauf adalah pensucian diri.
Bagaimana pun orang atau ahli mendefenisikan tasauf, tetapi tasauf teorinya
dari kumpulan pengalaman mistik para sufi. Pengalaman mistik para sufi yang
dapat digeneralisir ini kemudian tumbuh menjadi tasauf.
Tasauf sendiri dalam
perspektif yang lebih modern bukanlah ilmu karena ilmu itu membutuhkan
pembuktian empiric. Tasauf juga menurut Prof. Dr. Ahmad Tafsir bukan filsafat
karena memahami teorinya sering kali tidak bisa dijangkau oleh logika manusia.
Untuk itu, tasauf disebut dengan mistik dimana mengukurnya dengan perasaan,
keimanan, keyakinan, walaupun kadang-kadang empiric.
Prof. Dr. Mulyadhi
Kartanegara, tasauf itu ketika dipelajari itu adalah filsafat, tapi ketika
diamalkan adalah tasauf.Memang ketika belajar tasauf, kita mengukur
kebenarannya dengan metode filsafat, setidaknya dengan menggunakan piranti
logika yang terdalam, mendekati kehendak Tuhan. Cobalah renungkan dengan logika
normal
مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ كَمَثَلِ
حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ وَاللّهُ
يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاء وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan
hartanya di jalan Allah(^) adalah serupa dengan
sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap
bulir: seratus
biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi
siapa yang Dia
kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya)
lagi Maha
Mengetahui.
(^) Pengertian
menafkahkan harta di jalan Allah meliputi
belanja untuk
kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah
sakit, usaha
penyelidikan ilmiah dan lain-lain.” (Q.S. al-Baqarah/2: 261)
Jika disingkat makna
ayat di atas, kalau kita berinfak di jalan Allah 1 membuahkan 700. Berinfak Rp.
1000 bisa menghasilkan Rp. 700.000. Logika manusia banyak yang tidak terima.
JIka banyak orang yang menerima dan mengimaninya kemudian mengamalkannya,
niscaya lebih banyak manusia yang dermawan di muka bumi ini,karena teorinya
“menderma selalu beruntung”. Logika ini akan ditolak mentah-mentah orang-orang
yang pelit. Mana mungkin memberi yang mengurangi kepemilikan, malah bisa
menambahkah kepemilikan. Tapi, jika dipahami secara mendalam, Allah tidak
pernah ingkar janji dan Allah Maha Kuasa, termasuk kuasa menggandakan rezeki kita
dengan cara yang tidak diduga-duga. Masa Allah Yang Maha Kuasa tidak mampu
menggandakan sedekah kita yang ikhlas Rp. 1.000 menjadi Rp. 700.000? Bagi Allah
itu semua mudah و ان ذالك علي الله يسير
C.
Bertasauf Tidak
Harus Meninggalkan Dunia
Ajaran tasauf, tidak
ingin terpedanya dengan kenikmatan dunia, sehingga sikap mereka para sufi
sering dipahami kurang responsive terhadap kemewahan. Tidaklah dikatakan
seorang sufi, jika ia suka bermewah-mewah dan hajat berdunia melebihi hajatnya
terhadap akhirat. Dalam khazanah tasauf sering dijadikan contoh bahwa Rabiatul
Adawiyah seoran zahidah menolak diberi rumah yang bagus karena ia takut terlalu
nyenyak tidurnya, sehingga ketinggalan shalat Shubuhnya.
Sesungguhnya tasauf
tidak anti pada kenikmatan dunia, tetapi kenikmatan yang tidak melalaikan untuk
mengingat Allah. Memang Allah mengingatkan bahwa manusia ini banyak yang lupa
kepada Allah karena “nikmat yang banyak” (Q.S. al-Takatsur/102: 1-2). Jika kita
termasuk orang yang memiliki banyak nikmat, malah semakin banyak mengingat
Allah, maka nikmat tersebut sangat diharapkan dan tidak dicela. Untuk itu
bisanya termasuk kalangan “minoritas”. Dengan kata lain, lebih sedikit orang
kaya dengan kekayaannya ia lebih mengingat Allah daripada orang miskin dengan
kemiskinannya, ia mengingat Allah.
وَإِذَا مَسَّ الإِنسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنبِهِ أَوْ قَاعِدًا
أَوْ قَآئِمًا فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ كَأَن لَّمْ يَدْعُنَا إِلَى
ضُرٍّ مَّسَّهُ كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Dan apabila
manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami
dalam keadaan
berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah
Kami hilangkan
bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui
(jalannya yang
sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa
kepada Kami untuk
(menghilangkan) bahaya yang telah
menimpanya.
Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu
memandang baik
apa yang selalu mereka kerjakan.”
(Q.S.Yunus/10:12)
Ayat ini mengandung
bahwa dalam kemiskinin orang lebih banyak mengingat Allah, walaupun ada kalanya
kemiskinan membuat ini lebih kafir kepada Allah. Banyak orang yang menderita
tidak ada lagi yang bisa membantunya, akhirnya ia kembali bermohon kepada Allah
sebagai Pembantu Satu-Satunya. Orang yang tidak pernah mengingat Allah, ketika
Tsunami terjadi dan ia terhanyut ombak laut, tanpa terasa ia pasti
memanggil-manggil Allah bagi mereka yang Islam.
D.
Bertasauf Kampungan
Tidak Benar
Di tahun 1990-an
para ilmuan malu jika dibilang bertasauf, karena kesannya tasauf itu tidak
rasional, tidak berpikir logis, alias pekerjaan yang tidak masuk akal. Di akhir
tahun 1990-an, para ilmua sudah merasa bangga kalau mengikuti tasauf. Kenapa?
karena bertasauf ternyata membutuhkan kemampuan logika tinggi, maka para ilmuan
menyebutkan pendekatannya “supralogis”. Logika manusia saja tidak cukup untuk
memahami tasauf, tetapi kita membutuhkan “logika Tuhan”. Kita harus mampu
menafsirkan kehendak Tuhan dalam bahasa Prof. Dr. Qomaruddin Hidayat.
Bertasauf tidaklah
mudah, karena ia didahului oleh berfilsafat. Tasauf bukan saja menghadirkan
akal dalam memahami konsep, tetapi ia mengikutkan hati. Ternyata memahami
dengan hati jauh lebih dalam dari memahami dengan akal.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ
قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ
آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ
هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya
Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam
kebanyakan dari
jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan
mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai
telinga (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat
Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat
lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.
Kedatangan azab
Allah kepada orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat-Nya
dengan cara istidraj(^)
(^) Yaitu: dengan
membiarkan orang itu bergelimang dalam
kesesatannya,
hingga orang itu tidak sadar bahwa dia
didekatkan secara
berangsur-angsur kepada kebinasaan.” (Q.S. al-A’raf/7: 179)
E.
Aplikasi Tasauf
Dalam Kehidupan
Dalam kehidupan
sehari-hari setidaknya ada yang harus diraih dalam hal bertasauf:
1. Mencoba mengejar kebaikan
2. Tidak merasa rugi dalam berbuat baik
3. Merasa beruntung dalam berbuat baik
4. Senang berbuat baik
Berlanjut 18 Maret 2014 mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar