Senin, 10 Maret 2014

PERTEMUAN PERTAMA KULIAH TASAUF 11 MARET 2014

KULIAH TASAUF
PERTEMUAN PERTAMA 11 MARET 2014

PENGANTAR TASAUF

A.      Sejarah Lahirnya Tasauf
Disiplin ilmu yang pertama kali lahir dalam Islam adalah al-Qur’an dan tafsir. Hal itu dapat dipahami karena al-Qur’an adalah wahyu yang turun secara bertahap sebagai panduan hidup manusia menuju akhirat. Selanjutnya, karena penyampai al-Qur’an itu adalah Rasulullah Saw., maka disiplin ilmu yang berkembang selanjutnya adalah hadits dan tafsir hadits walaupun yang terakhir ini tidak lazim disebut. Dikemudian hari dipandang perlu lahirnya Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits sebagai teori-teori al-Qur’an dan hadits. Disiplin ilmu kalam selanjutnya berkembang, khususnya di saat awal khilafah Ali bin Abi Thalib yang bibitnya telah muncul di saat Rasulullah Saw. wafat, ketika membicarakan tentang siapa yang berhak menggantikan Rasulullah Saw. sebagai pemimpin. Ilmu Fiqh walaupun tidak berdiri secara khusus, tetapi pelajaran al-Qur’an sendiri telah banyak membicarakan fiqh karena ilmu itu menyangkut persoalan-persoalan teknis, hanya saja ilmu itu lahir dan berkembang secara formal pada saat lahirnya Imam Madzhab pada masa Sahabat dan berkembang pesat pada masa Tabi’in. Tasauf sesungguhnya lahir pada masa Tabi’in Tabi’in.
Kelahiran tasauf diduga kuat pada saat manusia telah banyak yang berpaling dari ajaran Allah, termasuk para pemimpin. Ketika kelompok yang resah dengan perilaku buruk itu mengingatkan para pemimpin untuk kembali ke jalan yang benar, tetapi tidak mendapat respon yang baik, maka mereka mulailah menyusun kelompok yang perduli dengan ajaran Allah. Komunitas yang perduli dengan ajaran Allah itu, akhirnya ada yang mengasingkan diri untuk berkonsentrasi mendekatkan diri kepada Allah. Inilah yang kemudian disebut dengan kalangan Sufi. Dus, tasauf bisa disebut lahir dari keprihatinan bertuhan.

B.      Pengertian Tasauf
Banyak cara memahami tasauf, di antaranya dapat disebutkan bahwa tasauf adalah disiplin ilmu yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan jarak yang sedekat-dekatnya. Tasauf adalah disiplin ilmu berurusan dengan hati. Tasauf adalah pensucian diri. Bagaimana pun orang atau ahli mendefenisikan tasauf, tetapi tasauf teorinya dari kumpulan pengalaman mistik para sufi. Pengalaman mistik para sufi yang dapat digeneralisir ini kemudian tumbuh menjadi tasauf.
Tasauf sendiri dalam perspektif yang lebih modern bukanlah ilmu karena ilmu itu membutuhkan pembuktian empiric. Tasauf juga menurut Prof. Dr. Ahmad Tafsir bukan filsafat karena memahami teorinya sering kali tidak bisa dijangkau oleh logika manusia. Untuk itu, tasauf disebut dengan mistik dimana mengukurnya dengan perasaan, keimanan, keyakinan, walaupun kadang-kadang empiric.
Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, tasauf itu ketika dipelajari itu adalah filsafat, tapi ketika diamalkan adalah tasauf.Memang ketika belajar tasauf, kita mengukur kebenarannya dengan metode filsafat, setidaknya dengan menggunakan piranti logika yang terdalam, mendekati kehendak Tuhan. Cobalah renungkan dengan logika normal
مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ وَاللّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاء وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah(^) adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap
bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi
siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya)
lagi Maha Mengetahui.
(^) Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi
belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah
sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.” (Q.S. al-Baqarah/2: 261)
Jika disingkat makna ayat di atas, kalau kita berinfak di jalan Allah 1 membuahkan 700. Berinfak Rp. 1000 bisa menghasilkan Rp. 700.000. Logika manusia banyak yang tidak terima. JIka banyak orang yang menerima dan mengimaninya kemudian mengamalkannya, niscaya lebih banyak manusia yang dermawan di muka bumi ini,karena teorinya “menderma selalu beruntung”. Logika ini akan ditolak mentah-mentah orang-orang yang pelit. Mana mungkin memberi yang mengurangi kepemilikan, malah bisa menambahkah kepemilikan. Tapi, jika dipahami secara mendalam, Allah tidak pernah ingkar janji dan Allah Maha Kuasa, termasuk kuasa menggandakan rezeki kita dengan cara yang tidak diduga-duga. Masa Allah Yang Maha Kuasa tidak mampu menggandakan sedekah kita yang ikhlas Rp. 1.000 menjadi Rp. 700.000? Bagi Allah itu semua mudah و ان ذالك علي الله يسير
C.      Bertasauf Tidak Harus Meninggalkan Dunia
Ajaran tasauf, tidak ingin terpedanya dengan kenikmatan dunia, sehingga sikap mereka para sufi sering dipahami kurang responsive terhadap kemewahan. Tidaklah dikatakan seorang sufi, jika ia suka bermewah-mewah dan hajat berdunia melebihi hajatnya terhadap akhirat. Dalam khazanah tasauf sering dijadikan contoh bahwa Rabiatul Adawiyah seoran zahidah menolak diberi rumah yang bagus karena ia takut terlalu nyenyak tidurnya, sehingga ketinggalan shalat Shubuhnya.
Sesungguhnya tasauf tidak anti pada kenikmatan dunia, tetapi kenikmatan yang tidak melalaikan untuk mengingat Allah. Memang Allah mengingatkan bahwa manusia ini banyak yang lupa kepada Allah karena “nikmat yang banyak” (Q.S. al-Takatsur/102: 1-2). Jika kita termasuk orang yang memiliki banyak nikmat, malah semakin banyak mengingat Allah, maka nikmat tersebut sangat diharapkan dan tidak dicela. Untuk itu bisanya termasuk kalangan “minoritas”. Dengan kata lain, lebih sedikit orang kaya dengan kekayaannya ia lebih mengingat Allah daripada orang miskin dengan kemiskinannya, ia mengingat Allah.
وَإِذَا مَسَّ الإِنسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنبِهِ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَآئِمًا فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ كَأَن لَّمْ يَدْعُنَا إِلَى ضُرٍّ مَّسَّهُ كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami
dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah
Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui
(jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa
kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah
menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu
memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.”
(Q.S.Yunus/10:12)
Ayat ini mengandung bahwa dalam kemiskinin orang lebih banyak mengingat Allah, walaupun ada kalanya kemiskinan membuat ini lebih kafir kepada Allah. Banyak orang yang menderita tidak ada lagi yang bisa membantunya, akhirnya ia kembali bermohon kepada Allah sebagai Pembantu Satu-Satunya. Orang yang tidak pernah mengingat Allah, ketika Tsunami terjadi dan ia terhanyut ombak laut, tanpa terasa ia pasti memanggil-manggil Allah bagi mereka yang Islam.

D.      Bertasauf Kampungan Tidak Benar
Di tahun 1990-an para ilmuan malu jika dibilang bertasauf, karena kesannya tasauf itu tidak rasional, tidak berpikir logis, alias pekerjaan yang tidak masuk akal. Di akhir tahun 1990-an, para ilmua sudah merasa bangga kalau mengikuti tasauf. Kenapa? karena bertasauf ternyata membutuhkan kemampuan logika tinggi, maka para ilmuan menyebutkan pendekatannya “supralogis”. Logika manusia saja tidak cukup untuk memahami tasauf, tetapi kita membutuhkan “logika Tuhan”. Kita harus mampu menafsirkan kehendak Tuhan dalam bahasa Prof. Dr. Qomaruddin Hidayat.
Bertasauf tidaklah mudah, karena ia didahului oleh berfilsafat. Tasauf bukan saja menghadirkan akal dalam memahami konsep, tetapi ia mengikutkan hati. Ternyata memahami dengan hati jauh lebih dalam dari memahami dengan akal.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan
mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai
telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.
Kedatangan azab Allah kepada orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat-Nya dengan cara istidraj(^)
(^) Yaitu: dengan membiarkan orang itu bergelimang dalam
kesesatannya, hingga orang itu tidak sadar bahwa dia
didekatkan secara berangsur-angsur kepada kebinasaan.” (Q.S. al-A’raf/7: 179)

E.       Aplikasi Tasauf Dalam Kehidupan
Dalam kehidupan sehari-hari setidaknya ada yang harus diraih dalam hal bertasauf:
1.       Mencoba mengejar kebaikan
2.       Tidak merasa rugi dalam berbuat baik
3.       Merasa beruntung dalam berbuat baik
4.       Senang berbuat baik


Berlanjut 18 Maret 2014 mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar