Rabu, 13 Agustus 2014

Jumat, 04 Juli 2014

Selamat Berpuasa

SELAMAT MENJALANKAN IBADAH PUASA, SEMOGA RAMADAN INI DAPAT MEMPERBAIKI BUDI PEKERTI KITA. AMIN 

Rabu, 28 Mei 2014

SELAMAT UJIAN ANAKKU

Santri Gontor sedang mengikuti ujian lisan dan setelah itu akan diteruskan ke ujian tulis. Kami segenap orang tua, dan saudara-saudaramu turun berdo'a, semoga semua ujian bisa kamu hadapi dengan tenang dan menghasilkan prestasi yang membanggakan.

Hal-hal yang perlu kamu ketahui amang: Pertama, ujian untuk mengevalusi sejauh mana penguasaan santri terhadap pelajaran yang diajarkan oleh ust.-ust. Kedua, ujian salah satu cara agar santri belajar. Ketiga, Yang Maha Pintar itu hanyalah Allah. Dari usaha manusia belajar, Allah menurunkan rahmatNya untuk dapat kita pahami, untuk itu jangan lupa berdo'a, "allimni bima jahiltu wa dzakkirni mimma nasitu: beritahu aku ya Allah jika aku tidak tahu, dan ingatkan aku, jika uku lupa". Keempat, target untuk mejadi juara I atau untuk mendapatkan nilai setinggi-tingginya dalam ujian tidaklah bagus. Tujuan yang bagus itu menurut pemahaman papa, keridaan kita sebagai manusia yang bertanggung jawab untuk diuji. Keridaan itu ditandai dengan senang belajar dan tenang mengikuti ujian, bersyukur atas semua hasilnya.

Senin, 14 April 2014

Membuat Persiapan Diskusi Harus Memperhatikan Kisi-Kisi Silabus

Pengantar
Kuliah Tasauf Pertemuan Keempat
Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.

1.      Pengertian, Latar Belakang, dan Perkembangan Tasauf
2.      Asal Kata, Teori Asal Usul Tasauf, dan Tanggapan Ulama terhadapnya
3.      Analisis


Paradigma Baru dalam Melihat Tasauf
Kuliah Tasauf Pertemuan Keempat
Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.

1.      Paradigma lama dalam melihat tasauf
2.      Paradigma baru dalam melihat tasauf
3.      Pengertian sup ralogis dan supra rasional
4.      Agrumentasi normatif  konsep supra logis atau supra rasional
5.      Analisis terhadap paradigma baru


Perbandingan Cara Pandang Filsafat dan Tasauf Melihat Tuhan
Kuliah Tasauf Pertemuan Kelima
Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.

1.      Konsep dasar filsafat dan Tasauf: Persamaan dan Perbedaan
2.      Konsep Tuhan dalam Filsafat dan Tasauf: Perbedaan
3.      Argumentasi normatif
4.      Analisis terhadap perbedaan cara pandang filsafat dan tasauf dalam melihat Tuhan.

Maqamat Menuju Tuhan
Kuliah Tasauf Pertemuan Keenam
Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.
15 April 2014

Pembahasan ini, setidaknya mendiskusikan:
1.      Pengertian maqamat dan ahwal: Didekati dari analisis linguistik dan terminologi, keterpaduan, perbedaan, dan contoh yang diawali oleh analogi.
2.      Tingkatan maqamat dan ahwal berdasarkan pengalaman mistik para sufi dari tasauf Sunni dan Falsafi
3.      Perpedaan pandangan maqamat tasauf Sunni dan Falsafi
Dianjurkan menambahkan:
1.      Apa saja yang dilakukan calon sufi dalam maqam taubat dan bagaimana kemungkinan ahwalnya.
2.      Bagaimana menguji tingkat maqam para calon sufi dan siapa yang menentukan kelulusannya.
3.      Bagaimana pandangan sufi tentang sabar dan tingkatannya
4.      Bagaimana pandangan sufi terhadap tawakkal dan rida serta cara mengukurnya
5.      Bagaimana pandangan ulama terhadap zuhud.
6.      Fenomena sikap zuhud orang yang lanjut usia


Mahabbah dan Ma’rifah
Kuliah Tasauf Pertemuan Ketujuh
Sehat Sultoni Dalimunthe

Pembahasan ini, setidaknya mendiskusikan:
1.      Pengertian mahabbah dan ma’rifah secara linguistik dan terminologinya dalam tasauf
2.      Konsep Mahabbah dan Ma’rifah
3.      Tingkatan Mahabbah dan Ma’rifah
4.      Rasionalisasi Mahabbah dan Ma’rifah
5.      Biografi Tokohnya

Ahwal dalam Perjalanan Menuju Tuhan
Kuliah Tasauf Pertemuan Kedelapan
Sehat Sultoni Dalimunthe

1.      Pengertian  dan sifat ahwal dalam tasauf
2.      Analagi ahwal
3.      Macam-macam ahwal, sebagai pengalaman mistik para sufi
4.      Analisis ahwal dalam maqamat

Aliran-Aliran Tasauf
Kuliah Tasauf Pertemuan Kesembilan
Sehat Sultoni Dalimunthe

1.      Latar Belakang Munculnya aliran tasauf: rasionaliasasi dan fenomena
2.      Macam-macam aliran tasauf
3.      Ciri khusus aliran-aliran tasauf
4.      Analisis terhadap aliran-aliran tasauf


Al-Fana wa al-Baqa
Kuliah Tasauf Pertemuan Kesepuluh
Sehat Sultoni Dalimunthe

1.      Pengertian al-Fana wa al-Baqa secara linguistik dan terminologi tasauf
2.      Konsep al-Fana wa al-Baqa
3.      Analogi al-Fana wa al-Baqa
4.      Letak penolakan ulama dalam konsep al-fana wa al-baqa
5.      Analisis  terhadap konsep al-fana wa al-baqa

Ittihad, Wahdatul Wujud, dan Hulul
Kuliah Tasauf Pertemuan Kesebelas
Sehat Sultoni Dalimunthe

1.      Pengertian Ittihad, Wahdatul Wujud, dan Hulul secara linguistik dan terminologi tasauf
2.      Konsep ittihad, wahdatul wujud, dan hulul: Persamaan dan perbedaan
3.      Rasionalisasi konsep ittihad, wahdatul wujud, dan hulul
4.      Analisa konsep ittihad, wahdatul wujud, dan hulul dalam perspektif filsafat mistik

Pemikiran Tasauf Ibn ’Arabi dalam Fushus al-Hikm
Kuliah Tasauf Pertemuan Keduabelas
Sehat Sultoni Dalimunthe

1.      Komentar para ahli terhadap Ibn Arabi
2.      Biografi Ibn Arabi: Identitas, Pendidikan, Murid, Guru, Karya
3.      Perkenalan dengan Fushusu al-hikm
4.      Konsep Tasauf dalam Fushus al-hikm
5.      Analisa terhadap pemikiran Ibn Arabi dalam Fushus al-hikm


Pemikiran Tasauf Abdul Karim al-Jili dalam al-Insan al-Kamil
Kuliah Tasauf Pertemuan Ketigabelas
Sehat Sultoni Dalimunthe

1.      Komentar para ahli terhadap al-Jili
2.      Biografi al-Jili: Identitas, Pendidikan, Murid, Guru, Karya
3.      Perkenalan dengan al-Insan al-Kamil
4.      Konsep Tasauf dalam al-Insan al-Kamil
5.      Analisa terhadap pemikiran al-Jili dalam al-Insan al-Kamil

Pemikiran Tasauf Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi dan Fihi Ma Fihi
Kuliah Tasauf Pertemuan Ketigabelas
Sehat Sultoni Dalimunthe

1.      Komentar para ahli terhadap Jalaluddin Rumi
2.      Biografi Rumi: Identitas, Pendidikan, Murid, Guru, Karya
3.      Perkenalan dengan Fihi ma Fihi
4.      Konsep Tasauf dalam Fihi ma Fihi
5.      Analisa terhadap pemikiran Rumi dalam Fihi ma Fihi


Senin, 07 April 2014

Kuliah Pertemuan Kelima Tasauf

Perbandingan Cara Pandang Filsafat dan Tasauf Melihat Tuhan
Kuliah Kelima Tasauf
Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.

A.     Filsafat Ketika Dipelajari Tasauf Ketika Diamalkan
Perlu dikemukakan kembali pendapat Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara bahwa tasauf itu ketika dipelajari sebagai filsafat, tetapi ketika diamalkan sebagai tasauf. Untuk itu sebagian berpendapat termasuk Mulyadhi bahwa tasauf itu tidak bisa dipelajari, tetapi bisa diamalkan saja. Artinya, bertasauf itu urusan praktek bukan teori.
Pernah kita Anda berbuat kebaikan dengan tulus ikhlas karena kebaikan itu merupakan kepribadianmu. Dalam makna seperti ini, tasauf bagaikan akhlak, yaitu perbuatan baik yang dengan mudah dan ringan dilaksankan tanpa proses berpikir. Karena ini urusan dalam, maka susah dinilai dengan benar. Selain itu, di zaman sekarang agak susah kita mendapat manusia yang tulus berbuat baik. Ciri-cira manusia seperti ini, ia lebih mengutamakan orang lain daripada dirinya. Di satu sisi, orang bilang bagaikan lilin, menerangi, tetapi ia hancur. Dalam konsep tasauf tentu tidak bisa disamakan dengan lilin. Yang dapat diterima, itulah pengorbanan.
”Suka berkorban”, tapi bukan  jadi korban. Berkorban itu nilainya tinggi, sementara korban nilainya rendah. Dus, dua konsep yang sangat berjauhan antara berkorban dan korban. Berkorban itu perbuatan mulia, sementara korban itu akibat kelemahan, sehingga mengundang belas kasihan. Kalau bukan karena konsep pengorbanan buat apa Rasulullah Saw. memperjuangkan Islam ini. Resistensi ia dapatkan dari dalam dan luar. Ia siap dimusuhi oleh keluarga terdekatnya, bahwa siap untuk mempertaruhkannya nyawanya untuk Islam sebagai ketaatan kepadaNya.
Na’uzu billah, iman kita boleh jadi lemah. Kekuatan iman itu akan kelihatan ketika behadapan dengan tantangan kehilangan nyawa. Sahabat Rasul dulu banyak yang bercita-cita mati syahid dalam peperangan. Sekarang ini, kesiapan mati syahid demi ketaatan kepada Allah boleh jadi cerita yang jarang kita dengar.
Alkisah menceritakan bahwa ada seorang ust. yang punya penyakit mag, sehingga ia dilarang oleh dokter puasa. Karena sudah lama ia tidak puasa, suatu saat jiwa ketaatannya melawan dan berkata, ”saya akan puasa walaupun harus mati”. Mungkin seperti inilah kualitas jiwa yang diinginkan oleh tasauf itu.
Filsafat berbicara dengan akalnya sementara tasauf dengan hatinya. Dalam pandangan filsafat itu, Tuhan itu sangat jauh dan tidak terjangkau. Akal tidak pernah selesai jika berbicara Tuhan, karena Tuhan itu Maha Gaib, tapi menurut Mulyadhi justru Ia Paling Nyata, karena Ialah yang pasti Ada dan mustahil tiada, sementara yang lainnya, tiada karena ia mungkin menjadi tidak ada.
Tasauf memangdang Tuhan itu sangat dekat, bahkan lebih dekat dari urat nadi kita. Mereka merujuk dari Q.S. Qaf/50: 60.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya, ”Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui
apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya,” (Q.S. Qaf/50: 60.)
Karena Tuhan begitu dekat dalam pandangan tasauf,  maka terkadang mereka tahu apa yang diketahui Tuhan karena diberitahu olehNya. Itulah yang kelak yang dipelajari dalam pembahasan ”ma’rifah”. Kalau tidak tahu batasannya seakan-akan sufi itu seperti dukun yang bisa mengetahui hal yang gaib. Bedanya dukun kalau ditanya selalu bilang tau. Sementara sufi yang memiliki ma’rifah tidak selama ia tau. Ia tau karena diberitau oleh Tuhan dan ia tidak tau, jika tidak diberitahuNya. Dukun selalu tau, jika ia tidak tau, maka ia menjadi tidak dukun lagi. Dukun mengetahuinya bukan dari Tuhan, tapi dari cara yang tidak dibenarkan agama dan cenderung mereka menduga-duga saja, walaupun terkadang tebakan mereka benar.



Senin, 31 Maret 2014

Paradigma Baru dalam Melihat Tasauf

Kuliah Keempat Tasauf
Paradigma Baru dalam Melihat Tasauf
Sehat Sultoni Dalimunthe
1-4-2014

Tasauf pada mulanya dipandang para ilmuan, khususnya para saintis sebagai disiplin ilmu yang irrasional Artinya, tidak masuk akal. Sesuatu yang tidak masuk akal pada mulanya dianggap rendah secara ilmiah. Sesuatu yang bertentangan dengan akal itu dianggap rendah dan tidak benar.
Kalau seseorang yang tinggal di Lhokseumawe mengatakan bahwa ia shalat Jum’at di Mesjidil Haram dan pada hari yang sama dan tanggal yang sama ia Shalat Ashar di Mesjid Baitul Rahman Lhokseumawe. Logika manusia normal akan mengatakan bahwa berita itu tidak mengandung kebenaran atau itu suatu kebohongan atau orang yang menyampaikan itu adalah orang gila dan sekian sebutan yang mengatakan itu tidak masuk di akal normal manusia. Nilai berita itu sebanding dengan mengatakan ”ada pohon pepaya berbuah mangga”. Bagi mereka yang mengetahui bahwa pohon pepaya adalah berbuah pepaya dan tidak pernah berbuah yang lainnya seperti buah mangga, maka ia akan mengatakan proposisi itu tidak benar atau proposisi itu mengada-ngada atau proposisi itu tidak perlu ditanggapi. Karena selama ini, ia tidak pernah melihat hal itu. Sesuatu yang tidak pernah ia lihat, maka ia nilai salah. Bukankah masih banyak yang tidak pernah kita lihat dan itu ternyata benar?
Yang tidak pernah dilihat bukan berarti tidak benar bukan? Pernahkah kita melihat akal, hati, dan nafsu manusia? itu tidak pernah kita lihat, hanya saja sering kita baca dan sering dibicarakan, sehingga kita pun yakin bahwa hal itu ada pada diri manusia. Siapa yang berani mengingkari adanya ruh? sedangkan ruh itu tidak pernah kelihatan, tapi itu diyakini ada oleh manusia yang normal.
Begitulah paradigma lama para siantis melihat tasauf, sesuatu yang rendah dan bahkan tidak bernilai kebenaran, sehingga orang yang bertasauf itu ”dianggap sebelah mata”.
Sealur dengan perkembangan tasauf yang awalnya dianggap rendahan pada gilirannya ternyata dinilai terbalik bahwa tasauf itu adalah disiplin ilmu yang membutuhkan tingkat rasionalitas yang tinggi, sehingga akal manusia saja tidak akan sampai menembus pemahamannya. Bagaimana kisah di atas, seseorang yang tinggal di Lhokseumawe dapat shalat Jum’at di Mesjidil haram, pada hari dan tanggal yang sama ia shalat Ashar di Mesjid Baitul Rahman Lhokseumawe. Ternyata proposisi itu harus lagi ditafsirkan dengan nomenklatur tasauf tentang alam ruh.
Untuk menjelaskan alam ruh, secara sederhana, bisa dijelaskan bahwa seorang mahasiswi yang baru tiga hari menikah mengikuti kuliah di STAIN. Pada saat berjalan perkuliahan di ruang belajar, ternyata fisik dari mahasiswa itu jelas dilihat hadir. Ternyata akal pikirannya, hati, dan nafsunya masih ada di rumah. Seakan2 akal, hati, dan nafsurnya mengatakan, ”lama kali kuliah ini, saya ingin cepat2 pulang agar ketemu dengan suamiku tercinta yang ganteng dan baik hati. Belaiannya tadi malam sangat mengesankan. Aku ingin berlama2 dengnnya, dsb”. Analogi itu dapat memahami gambaran alam ruh orang yang mengatakan shalat Jum’at di Mesjidil Haram dan shalat Ashar di Mesjid Baitul Rahman Lhokseumawe, Ruhnya atau jiwanya bisa jadi shlat Jum’at di Mesjidil Haram, sedangkan jasadnya tetap shalat Jum’at di Mesjid Baitul Rahman Lhokseumawe. Meskipun ia shalat Jum’at di Baitul Rahman Lhokseumawe, tapi jiwanya hadir di Mesjidil Haram. Begitu ia shlat Ashar di Mesjid Baitul Rahman pada hari dan tanggal yang sama, ternyata jiwanya pun tetap shalat di tempat itu dan tidak di Mesjid Bairul Rahman. Analogi seperti ini dapat diterima oleh akal karena kita bisa mengalaminya.
Kemungkinan lain bisa juga terjadi bahwa jasad dan ruhnya memang shalat Jum’at di Mesjidil Haram dengan kekuasaan dan kehendak Allah, sementara pada hari dan tanggal yang sama ia sudah shalat Ashar di Mesjid Baitul Rahman Lhokseumawe. Itu tidak masuk akal bukan, tapi Allah pasti mampu melakukannya karena Ia Maha Kuasa dan kuasa melakukan apa saja, tanpa kecuali, termasuk kuasa membuat matahari terbit dari Barat dan terbenam di Timur.
Untuk itu, sekarang ini tasauf dipandang sebagai disiplin ilmu yang menggunakan pendekatan suprarasional atau supralogis, dimana kemampuan akal yang tinggi, hingga mendekati akal kehendak Allah. Bertasauf sekarang ini menuntut ketinggian logika. Orang yang kemampuan logikanya tidak bagus, maka logika tasaufnya dengan sendirinya akan rendah. Untuk itulah program studi filsafat di Perguruan Tinggi Islam dengan sendirinya mempelajari tasauf itu sendiri. Disinilah Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara mengatakan bahwa tasauf ketika dipelajari adalah filsafat, ketika diamalkan sebagai tasauf.


Minggu, 23 Maret 2014

Kuliah Tasauf Pertemuan Ketiga 25 Maret 2014

KULIAH TASAUF KETIGA, SELASA 25 MARET 2014
SEHAT SULTONI DALIMUNTHE, M.A.
A.      PENGERTIAN
Tasauf bisa didefenisikan dengan bermacam2 redaksi, tetapi tidak keluar dari:
1.       Tasauf itu teori untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan jarak yang sedekat-dekatnya
2.       Tasauf  untuk mensucikan diri
3.       Tasauf bekerja dengan hati
4.       Tasauf melihat dunia sebagai jembatan untuk menuju akhirat.
5.       Tasauf pengalaman mistik para sufi.
6.       Tasauf adalah teori mistik keagamaan Islam

B.      LATAR BELAKANG LAHIRNYA TASAUF
Tasauf lahir dari sikap umat Muslim, khususnya para pemimpin yang tidak mengindahkan ajaran Allah. Tasauf lahir dari latar belakang moral keagamaan yang mencintai Allah.

C.      PERKEMBANGAN TASAUF
Pada mulanya tasauf itu bukanlah suatu disiplin ilmu, tapi sebagai gerakan moral keagamaan kemudian pada masa tabi’in-tabiin menjadi suatu disiplin ilmu. Secara umum perkembangan tasauf dibagi tiga:
1.       Tasauf Sunni, dimana bertasauf mengikuti  tarikat dengan system maqamat atau tahapan-tahapan menuju Tuhan, tanpa ada konsep al-fana wa al-baqa dan konsep persatuan Sufi dengan Tuhan.
2.       Tasauf Falsafai, dimana bertasauf  yang berujung pada konsep persatuan sufi dengan Tuhan.
3.       Tasauf Modern, ini istilah yang tidak begitu populer. Di Indonesia dipopulerkan oleh Buya Hamka dimana bertasauf tidak mesti mengikuti tarekat dan tidak mesti berujung pada konsep persatuan Sufi dengan Tuhan, tetapi selagi manusia berada pada panduan ilahi, maka ia sedang bertasauf. Dalam makna yang terakhir ini, belajar untuk menuntut ilmu menjadi amalan tasauf karena ia juga sesuai dengan panduan Allah dan mendatangkan pahala.

D.      ASAL KATA TASAUF
Tasauf itu dikatakan berasal dari lima kata. Pertama, saf, yang berarti saf pertama di dalam shalat, dimana mereka itu adalah golongan terbaik. Artinya, orang-orang sufi adalah orang-orang terkekat Tuhan, sehingga mereka berhak disebut orang terbaik. Kedua, sofin, artinya suci. Artinya para sufi itu menilai mereka itu orang suci, sementara yang lainnya, “sok suci”. Ketiga, suf yang berarti wol kasar, dimana para sufi tidak begitu menyukai kenikmatan dunia, karena kenikmatan dunia sering melalaikan pelakunya untuk mengingat Allah. Keempat, suffah yang berarti pelana unta, dimana para sahabat nabi yang pertama hijrah ke Madinah, tidur di Mesjid Nabawi berbantalkan suffah. Ini menandakan bahwa mereka para sufi hidup sederhana dalam berjuang mendekatkan diri kepada Allah. Terakhir diduga berasal dari kata shofos yang berarti bijaksana. Orang-orang sufi adalah orang yang bijaksana, yang lebih mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya. Sementara orang lain hanya “bijaksinia” yang mendahulukan kepentingan pribadinya daripada kepentingan orang lain.
Asal-usul ajaran tasauf, dikatakan berasal dari: Pertama, Hindu karena adanya konsep persatuan Brahma sebagai Tuhan dengan Atman orang sufi. Mirip dengan tasauf falsafi. Kedua, emanasi Plotinus, dimana pada mulanya roh itu suci. Ketika bersatu dengan jasat, roh menjadi kotor. Ketika kotor, roh membutuhkan jasad. Ketika roh kembali suci, maka roh menginginkan berpisah dengan jasad. Ajaran ini mirip dengan sikap para sufi yang melihat kematian sebagai kebahagiaan karena telah sucinya roh kembali. Ketiga, ajaran Kristen dengan konsep “Maryamisme”. Maryam tidak menikah karena pengabdiannya kepada Alllah. Di dalam ajaran Kristen, biarawati tidak boleh menikah sebagai wujud ketundukannya kepada Tuhan. Para biarawati hidupnya menyendiri untuk berkonsentrasi beribadah kepada Tuhan. Di dalam tasauf ada yang dikenal dengan zuhud, dimana para calon sufi menyepi untuk berkonsentasi mendekatkan diri kepada Allah. Keempat, dari Budha dengan faham Nirwani, dimana jika orang ingin masuk surga, maka ia harus menyakiti dirinya. Konsep ini mirip dengan ajaran tasauf, jika ingin dengan dengan Allah maka harus mengikuti hidup perihatin seperti banyak puasa menahan lapar, banyak beribadah, dan meninggalkan yang serba nikmat. Kelima, dari ajaran filsafat Pytagoras yang melihat bahwa roh itu adalah kekal dan berada di dunia seperti orang asing. Ajaran ini mirip dengan ajaran Islam yang melihat roh itu adalah kekal kemudian karena tidak menyukai kemewahan, maka ia dianggap asing.

E.       TANGGAPAN ULAMA TERHADAP TASAUF
Menanggapi ajaran tasauf ini ada golongan yang mengapresiasi karena misinya mendekatkan diri kepda Allah dengan jarak yang sedekat-dekatnya. Ada juga ulama yang menilai tasauf sunni itu sangat dianjurkan, sementara menilai tasauf falsafi itu sesat, karena mereka para sufi tersebut mengaku bersatu dengan Tuhan dan mengaku sebagai Tuhan. Ada yang menilai bahwa bertasauf itu, tidak perlu mengikuti tasauf sunni maupun falsafi, tapi cukup mengikuti ajaran Allah, karena Rasulullah tidak memperaktekkan ajaran itu.





Senin, 10 Maret 2014

PERTEMUAN PERTAMA KULIAH TASAUF 11 MARET 2014

KULIAH TASAUF
PERTEMUAN PERTAMA 11 MARET 2014

PENGANTAR TASAUF

A.      Sejarah Lahirnya Tasauf
Disiplin ilmu yang pertama kali lahir dalam Islam adalah al-Qur’an dan tafsir. Hal itu dapat dipahami karena al-Qur’an adalah wahyu yang turun secara bertahap sebagai panduan hidup manusia menuju akhirat. Selanjutnya, karena penyampai al-Qur’an itu adalah Rasulullah Saw., maka disiplin ilmu yang berkembang selanjutnya adalah hadits dan tafsir hadits walaupun yang terakhir ini tidak lazim disebut. Dikemudian hari dipandang perlu lahirnya Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits sebagai teori-teori al-Qur’an dan hadits. Disiplin ilmu kalam selanjutnya berkembang, khususnya di saat awal khilafah Ali bin Abi Thalib yang bibitnya telah muncul di saat Rasulullah Saw. wafat, ketika membicarakan tentang siapa yang berhak menggantikan Rasulullah Saw. sebagai pemimpin. Ilmu Fiqh walaupun tidak berdiri secara khusus, tetapi pelajaran al-Qur’an sendiri telah banyak membicarakan fiqh karena ilmu itu menyangkut persoalan-persoalan teknis, hanya saja ilmu itu lahir dan berkembang secara formal pada saat lahirnya Imam Madzhab pada masa Sahabat dan berkembang pesat pada masa Tabi’in. Tasauf sesungguhnya lahir pada masa Tabi’in Tabi’in.
Kelahiran tasauf diduga kuat pada saat manusia telah banyak yang berpaling dari ajaran Allah, termasuk para pemimpin. Ketika kelompok yang resah dengan perilaku buruk itu mengingatkan para pemimpin untuk kembali ke jalan yang benar, tetapi tidak mendapat respon yang baik, maka mereka mulailah menyusun kelompok yang perduli dengan ajaran Allah. Komunitas yang perduli dengan ajaran Allah itu, akhirnya ada yang mengasingkan diri untuk berkonsentrasi mendekatkan diri kepada Allah. Inilah yang kemudian disebut dengan kalangan Sufi. Dus, tasauf bisa disebut lahir dari keprihatinan bertuhan.

B.      Pengertian Tasauf
Banyak cara memahami tasauf, di antaranya dapat disebutkan bahwa tasauf adalah disiplin ilmu yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan jarak yang sedekat-dekatnya. Tasauf adalah disiplin ilmu berurusan dengan hati. Tasauf adalah pensucian diri. Bagaimana pun orang atau ahli mendefenisikan tasauf, tetapi tasauf teorinya dari kumpulan pengalaman mistik para sufi. Pengalaman mistik para sufi yang dapat digeneralisir ini kemudian tumbuh menjadi tasauf.
Tasauf sendiri dalam perspektif yang lebih modern bukanlah ilmu karena ilmu itu membutuhkan pembuktian empiric. Tasauf juga menurut Prof. Dr. Ahmad Tafsir bukan filsafat karena memahami teorinya sering kali tidak bisa dijangkau oleh logika manusia. Untuk itu, tasauf disebut dengan mistik dimana mengukurnya dengan perasaan, keimanan, keyakinan, walaupun kadang-kadang empiric.
Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, tasauf itu ketika dipelajari itu adalah filsafat, tapi ketika diamalkan adalah tasauf.Memang ketika belajar tasauf, kita mengukur kebenarannya dengan metode filsafat, setidaknya dengan menggunakan piranti logika yang terdalam, mendekati kehendak Tuhan. Cobalah renungkan dengan logika normal
مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ وَاللّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاء وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah(^) adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap
bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi
siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya)
lagi Maha Mengetahui.
(^) Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi
belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan, rumah
sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.” (Q.S. al-Baqarah/2: 261)
Jika disingkat makna ayat di atas, kalau kita berinfak di jalan Allah 1 membuahkan 700. Berinfak Rp. 1000 bisa menghasilkan Rp. 700.000. Logika manusia banyak yang tidak terima. JIka banyak orang yang menerima dan mengimaninya kemudian mengamalkannya, niscaya lebih banyak manusia yang dermawan di muka bumi ini,karena teorinya “menderma selalu beruntung”. Logika ini akan ditolak mentah-mentah orang-orang yang pelit. Mana mungkin memberi yang mengurangi kepemilikan, malah bisa menambahkah kepemilikan. Tapi, jika dipahami secara mendalam, Allah tidak pernah ingkar janji dan Allah Maha Kuasa, termasuk kuasa menggandakan rezeki kita dengan cara yang tidak diduga-duga. Masa Allah Yang Maha Kuasa tidak mampu menggandakan sedekah kita yang ikhlas Rp. 1.000 menjadi Rp. 700.000? Bagi Allah itu semua mudah و ان ذالك علي الله يسير
C.      Bertasauf Tidak Harus Meninggalkan Dunia
Ajaran tasauf, tidak ingin terpedanya dengan kenikmatan dunia, sehingga sikap mereka para sufi sering dipahami kurang responsive terhadap kemewahan. Tidaklah dikatakan seorang sufi, jika ia suka bermewah-mewah dan hajat berdunia melebihi hajatnya terhadap akhirat. Dalam khazanah tasauf sering dijadikan contoh bahwa Rabiatul Adawiyah seoran zahidah menolak diberi rumah yang bagus karena ia takut terlalu nyenyak tidurnya, sehingga ketinggalan shalat Shubuhnya.
Sesungguhnya tasauf tidak anti pada kenikmatan dunia, tetapi kenikmatan yang tidak melalaikan untuk mengingat Allah. Memang Allah mengingatkan bahwa manusia ini banyak yang lupa kepada Allah karena “nikmat yang banyak” (Q.S. al-Takatsur/102: 1-2). Jika kita termasuk orang yang memiliki banyak nikmat, malah semakin banyak mengingat Allah, maka nikmat tersebut sangat diharapkan dan tidak dicela. Untuk itu bisanya termasuk kalangan “minoritas”. Dengan kata lain, lebih sedikit orang kaya dengan kekayaannya ia lebih mengingat Allah daripada orang miskin dengan kemiskinannya, ia mengingat Allah.
وَإِذَا مَسَّ الإِنسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنبِهِ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَآئِمًا فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ كَأَن لَّمْ يَدْعُنَا إِلَى ضُرٍّ مَّسَّهُ كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami
dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah
Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui
(jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa
kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah
menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu
memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.”
(Q.S.Yunus/10:12)
Ayat ini mengandung bahwa dalam kemiskinin orang lebih banyak mengingat Allah, walaupun ada kalanya kemiskinan membuat ini lebih kafir kepada Allah. Banyak orang yang menderita tidak ada lagi yang bisa membantunya, akhirnya ia kembali bermohon kepada Allah sebagai Pembantu Satu-Satunya. Orang yang tidak pernah mengingat Allah, ketika Tsunami terjadi dan ia terhanyut ombak laut, tanpa terasa ia pasti memanggil-manggil Allah bagi mereka yang Islam.

D.      Bertasauf Kampungan Tidak Benar
Di tahun 1990-an para ilmuan malu jika dibilang bertasauf, karena kesannya tasauf itu tidak rasional, tidak berpikir logis, alias pekerjaan yang tidak masuk akal. Di akhir tahun 1990-an, para ilmua sudah merasa bangga kalau mengikuti tasauf. Kenapa? karena bertasauf ternyata membutuhkan kemampuan logika tinggi, maka para ilmuan menyebutkan pendekatannya “supralogis”. Logika manusia saja tidak cukup untuk memahami tasauf, tetapi kita membutuhkan “logika Tuhan”. Kita harus mampu menafsirkan kehendak Tuhan dalam bahasa Prof. Dr. Qomaruddin Hidayat.
Bertasauf tidaklah mudah, karena ia didahului oleh berfilsafat. Tasauf bukan saja menghadirkan akal dalam memahami konsep, tetapi ia mengikutkan hati. Ternyata memahami dengan hati jauh lebih dalam dari memahami dengan akal.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan
mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai
telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.
Kedatangan azab Allah kepada orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat-Nya dengan cara istidraj(^)
(^) Yaitu: dengan membiarkan orang itu bergelimang dalam
kesesatannya, hingga orang itu tidak sadar bahwa dia
didekatkan secara berangsur-angsur kepada kebinasaan.” (Q.S. al-A’raf/7: 179)

E.       Aplikasi Tasauf Dalam Kehidupan
Dalam kehidupan sehari-hari setidaknya ada yang harus diraih dalam hal bertasauf:
1.       Mencoba mengejar kebaikan
2.       Tidak merasa rugi dalam berbuat baik
3.       Merasa beruntung dalam berbuat baik
4.       Senang berbuat baik


Berlanjut 18 Maret 2014 mendatang.