Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.
A.
Pendahuluan
Korupsi
di Indonesia menjadi hal yang serius, sehingga pemerintah, ikhlas atau tidak
mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK dari namanya sepertinya
mengerikan dan sekaligus menjanjikan. Mengerikan karena namanya pemberantasan,
seakan-akan pasukan super power dalam segala bidang termasuk dalam
bidang integritas moralnya yang tulus untuk benar-benar memberantas.
Pemberantasan boleh jadi kata yang utopis, sehingga tidak mungkin terwujud zero
corruption, jika memang korupsi itu bagian dari system hidup yang diciptakan
oleh Allah. Ada yang baik, ada yang jahat. Ada yang memperbaiki bangsa, ada
juga yang merusak bangsa, termasuk para koruptor. Naudzubillah, kita termasuk
di dalamnya atau kita kandidat yang berminat untuk korupsi. Untuk itu jugalah
judul makalah ini ditulis “…memperkecil virus korupsi”, karena teori itu lebih
logis dan mudah dipertanggung jawabkan. KPK saja jika ditanya, kapan korupsi
bisa diberantas, saya yakin mereka tidak berani menjawabnya.
Pada
saat menggulingkan singgasana Soeharto, masing-masing kita berteriak untuk
menyelesaikan korupsi. Ternyata, banyak juga orang yang berkomentar pasca
Soeharto, korupsi malah semakin meraja lela. Walaupun dalam banyak data
korupsi, tempatnya saja yang berpindah. Kepala daerah, banyak yang terlibat
korupsi, demikian juga para pejabat dan pengusaha. Dalam hal urusan ibadah juga
orang berani korupsi. Dalam kekesalan dan kesedihan bangsa, sebagian tokoh
berkomentar. Prof. Dr. Mahfud M.D. mengatakan sudah habis rumus dan jurus untuk
memberantas korupsi yang diberlakukan di Indonesia, tetapi tetap saja korupsi
tidak terberantas. Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif mengatakan urat malu para koruptor
itu sudah putus, sehingga dalam keadaan terpida pun mereka kelihatan tidak
malu.
Belum
selesai tugas KPK, dengan agresif panitia seminar ini mewacanakan kerja baru,
yaitu memberantas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Jadi pemerintah, diberi
“PR” oleh panitia ini untuk membentuk “Komisi Pemberantasan Kolusi” dan “Komisi
Pemberantasan Nepotisme”. Klasifikasi tindak pidana korupsi yang dikeluarkan
PBB mencakup kolusi dan nepotisme. Sementara menurut UU
NO.31/1999 jo UU No.20/2001 tentang tindak pidana korupsi, hemat penulis,
nepotisme tidak termasuk di dalamnya, tetapi kolusi termasuk di dalamnya. Kita berharap, seminar ini memang lahir dari niat baik. Dalam
filsafat etika, tidak cukup niat baik, tetapi harus dilanjutkan kerja yang baik
pula. Kemudian diakhiri dengan akibat yang baik dari pekerjaan itu. Perlu kita
sama-sama mewaspadai para pelaku KKN yang punya niat buruk, tetapi caranya
kelihatannya baik (mangakal akali).
Sebagai
bangsa, kita memiliki tanggung jawab bersama dalam memperkecil virus KKN ini.
Boleh jadi kita yang di ruangan ini belum semua setuju KKN itu diberantas.
Karena boleh saja saat ini ada di antara kita yang diuntungkan dengan KKN,
tentu ada juga yang dirugikan dengan KKN. Tapi nurani kita yang jujur sama
menilai KKN itu tidak baik. Walaupun orang masih bisa berdebat panjang makna
dari kolusi dan nepotisme. Tapi KKN dalam makna negative itu nurani kita
menyetujui untuk diberantas, walaupun akal tidak, setidaknya akal saya
mengatakan hampir mustahil memberantasnya. Yang mungkin kita lakukan adalah
memperkecil, sekecil mungkin.
Dimana
posisi atau keikutsertaan para ulama dan cendekiawan dalam hal memperkecil
virus korupsi di Negara ini? hal inilah yang akan dibicarakan dalam makalah
ini. Perspektif yang digunakan sesuai dengan permintaan panitia teori social,
budaya, dan agama.
B.
Istilah: Ulama dan Cendekiawan.
1.
Ulama
Ulama
menjadi kata yang tidak asing dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa
Arab. Ulama yang asalnya jamak dari ‘alim (orang yang berilmu). Di dalam
al-Qur’an ada dua bentuk jamak dari ‘alim, yaitu ulama dan ‘alimun, tetapi
istilah ulama inilah yang berhubungan dengan kepakaran ilmu.
Walaupun
istilah ulama itu telah ma’lum bagi kita, apalagi bagi kalangan ulama, tetapi
kata tekstual dari ulama, hanya disebutkan dua kali di dalam al-Qur’an. Pertama
dalam Q.S. al-Syu’ara/26: 197 dan Q.S. Fatir/35: 28.
أَوَلَمْ يَكُن لَّهُمْ آيَةً أَن يَعْلَمَهُ عُلَمَاء بَنِي
إِسْرَائِيلَ
Artinya,
“Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani
Israel mengetahuinya?”
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ
كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ
عَزِيزٌ غَفُورٌ
Artinya,
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.”
Kata
ulama dalam Surah al-Syu’ara menyebutkan kata ulama bani Israil. Dalam tafsir
Ibn Katsir disebutkan bahwa ulama bani Israil itu adalah orang yang memiliki
pengetahuan Taurat, dimana mereka mengetahui ciri-ciri kerasulan Muhammad Saw.
Mereka itu adalah orang jujur. Ulama disini mencakup ilmu dan akhlak. Sementara
kata ulama di dalam kitab-kitab hadits menurut penelusuran Ensiklopedi Maktabah
Syamilah disebutkan 31.091 kali dalam 1375 kitab.
Kata
ulama dalam Surah Fatir ditafsirkan oleh Ibn Katsir dengan orang yang berilmu
dan berakhlak. Ilmunya tidak saja untuk diomongkan saja, tetapi untuk
diamalkan. Dengan ilmunya, ulama itu semakin tunduk kepada Allah.
Kata
علم,عالم, و
عمل
adalah satu akar kata, huruf-huruf itu juga ada dalam علماء. Untuk itu, ulama menurut Prof. Dr.
Komaruddin Hidayat adalah orang yang berilmu dan lebih khusus memiliki ilmu
yang tinggi (pakar), berwawasan universal, dan mengamalkan ilmunya. Karena ia
mengamalkan ilmu, untuk itu ia berakhlak mulia.
Jamak
alim, alimun dan alamin disebutkan 4 kali di dalam al-Qur’an (al-Q.S. Yusuf:
44, al-Ankabut: 43, al-Anbiya: 51 dan 81). Kata tersebut tidaklah menunjukkan
kekhususan pengetahuan. Namun al-Asfahani Mufradat fi Gharib al-Qur’an
menyebutkan kata “’ilm” adalah mengetahui sesuatu dengan meyakinkan,
tetapi tidak ditujukan untuk bidang ilmu tertentu.
2.
Cedekiawan
Cendekiawan
dalam bahasa Inggrisnya intellectual. Intelektual berhubungan dengan
dunia akademis. Untuk itu intelektual dan cendekiawan haruslah lahir dari
sarjana. Ulama juga adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi bedanya
ulama tidak dengan sendirinya harus sarjana.
Karena
cendekiawan itu adalah intelektual, maka ia tentulah orang yang berilmu secara
akademik. Karel A. Steenbrink menyebutkan bahwa dalam bukunya Pesantren
Madrasah dan Sekolah bahwa disebut seseorang yang intelek mereka yang
berpendidikan Barat atau memiliki ilmu profane atau lazim disebut pengetahuan
umum, untuk membedakannya dengan pengetahuan agama. Kira-kira cendekiawan atau
intelektual itu mereka para sarjana dari “ilmu-ilmu umum”, seperti Sarjana
Ekonomi, Sarjana Politik, Sarjana Matematika, dan sebagainya. Tetapi sekarang
ini sarjana di bidang “ilmu-ilmu agama” juga banyak disebut dengan intelektual
atau cendekiawan. Tidak semua sarjana disebut orang sebagai intelektual atau
cendekiawan, tetapi mereka yang memiliki kedalaman ilmu lah yang disebut dengan
kaum intelektual. Dawam Rahardjo menyebutkan contoh intelektual atau
cendekiawan itu seperti Prof. Dr. Quraish Shihab. Sepertinya mereka kaum
cendekiawan pada ghalibnya orang-orang berpendidikan tinggi, tidak sekedar
pendidikan S1 dan S2, tetapi yang berpendidikan S3.
Intelektual
atau cendekiawan kata Prof. Dr. Hasan Asari selain memiliki ilmu yang mumpuni
juga mereka haruslah orang yang mengurusi masyarakat. Untuk itulah ia
mengatakan bahwa ulama dan intelektual atau cendekiawan itu sama. Sama-sama
berilmu yang mumpuni dan sama-sama mengurusi masyarakat. Adapun ilmuan, hanya
mengurusi ilmu, tetapi tidak mengurusi masyarakat.
Para
ahli yang membedakan ulama dan intelektual, ulama mereka yang ahli di bidang
agama, sementara intelektual mereka yang hali di bidang umum. Untuk
menyempurnakan keilmuan dan harapan ideal, mereka menyebut ulama intelek. Prof.
Abu Bakar Aceh menyebut ulama intelek itu seperti H. Agus Salim dan Muhammad
Natsir. Dari istilah baru itu juga Wahid Hasyim menyebut istilah “Kyai
Intelek”. Ulama intelek ini juga sering disebutkan oleh K.H. Imam Zarkasyi. Lebih
kurang maknanya ahli ilmu agama dan umum. Baik ulama dan intelektual adalah
sama-sama mengurusi masyarakat. Untuk itu baik ulama maupun intelektual atau
cendekiawan mesti memiliki massa. Mereka bisa memiliki massa karena mereka
memiliki force of knowledge dan force of moral.
Menurut
penulis baik ulama maupun cendekiawan mereka yang memiliki ilmu yang tinggi,
dalam bahasa Gontor “berpengetahuan luas” (‘ilm). Karena mereka berpengetahuan
luas dengan sendirinya mereka juga berwawasan universal (‘alam). Terakhir
mereka juga adalah orang-orang bermoral. Untuk itu, idelanya yang mengurusi
masyarakat ini adalah orang-orang bermoral (‘amal).
C.
Dimana Ulama dan Cendekiawan Berada
Untuk
mengidentifikasi siapa ulama dan cendekiawan bisa dilihat dari tugasnya. Menurut
Prof. Dr. Azyumardi Azra tugas ulama itu adalah transfer of knowledge dan
transfer of moral (penyampai ilmu dan moral). Profesi penyampai ilmu
yang tidak diragukan adalah mereka para guru, dosen, pelatih, widya swara,
peneliti, penceramah, dan para penulis yang dipublikasikan baik dalam lingkup
kecil maupun besar (termasuk disini penulis skenario film dan pencipta lagu).
Mereka yang menyampaikan ilmu itu baik dengan lisan ataupun dengan tulisan.
Para
ulama sang ril peran dan pengaruhnya di masyarakat. Karena ulama ini memiliki
pengaruh di masyarakat lah, maka para penguasa sering mendekati mereka untuk
mendapkan dukungan rakyat. Tidak jarang juga ulama ini ditarik berpartisipasi
aktif dalam politik, demi mendongkrak dukungan rakyat. Tentu ulama ada yang
tergoda dengan politik, ada juga yang tidak. Menurut Prof. Dr. Said Agil Siraj,
semestinya ada ulama yang menjaga gawang di masyarakat, tidak semua hijrah ke
politik.
Ulama
adalah gelar pemberian masyarakat. Menurut Munawir Sadjali tahun 1990-an ulama itu
“makhluk langka”. Kelangkaan yang pertama di bidang penguasaan ilmu agama
(perpengetahuan luas). Kelangkaan yang kedua, persoalan moral (berbudi tinggi).
Bahkan kata Dawam Rahardjo, ada orang yang tidak diragukan ketinggian ilmunya
seperti Prof. Dr. Quraish Shihab dan Prof Emeritus. Dr. Mukti Ali, dan mungkin
juga dalam makna ini Prof. Emeritus. Dr. Nurcholish Madjid tidak disebut
masyarakat dengan Kyai atau ulama. Mereka itu hanya disebut cendekiawan saja.
Jika seseorang disebut ulama, maka bisa ditanyakan masyarakat mana yang
menggelarnya ulama. Berdasarkan kriteria ulama di atas, ada gak yang memenuhi
syarat disebut ulama di Paluta ini? Jika ada yang memenuhi syarat, sudahkan
masyarakat menyebutnya ulama?
Lain
halnya dengan cedekiawan, sesungguhnya kita bisa menyebutkan seseorang itu
cendekiawan, jika memenuhi syarat keluasan ilmu dan pengabdiannya di
masyarakat. Dilihat dari tugasnya, dosen sah disebut cendekiawan, karena ia
memiliki 3 tugas pokok, yaitu manjalankan tugas pendidikan dan pengajaran,
penelitian, dan pengabdian masyarakat. Guru juga dengan kualifikasi minimal S1,
berdasarkan UURI No. 20 tahun 2003, pasal 39 bisa berpotensi disebut
cendekiawan. Sementara profesi yang berhubungan dengan transfer of knowledge
memiliki keterikatan dengan mengurusi masyarakat pun berhak disebut dengan
cendekiawan.
D.
Korupsi: Apa, Siapa, dan Kenapa?
Sebagaimana
dikutip Muhaimain dalam Nuansa Baru Pendidikan Islam, PBB
mengkalsifikasikan tindak pidana korupsi 10 macam, yaitu: suap (bribery),
penggelapan (embezzlement), pemalsuan (fraud), pemerasan (extortion),
penyalahgunaan wewenang (abuse of discretion), bisnis orang dalam (insider
trading), pemberian komisi (illegal commission), pilih kasih (favoritism),
nepotisme (nepotism), dan sumbangan illegal(illegal contributions).
Melihat
10 klasifikasi tindak pidana korupsi di atas, maka yang berpeluang besar
melakukan korupsi dalam hal suap, tentu orang berduit, kita katakanlah orang
kaya. Walaupun orang yang tidak kaya juga terkadang berutang untuk menyuap.
Untuk masuk sekolah saja sudah ada yang menyuap, apalagi mau jadi PNS. Jadi
bisa disebut the money tends to corrupt (“kekayaan berpotensi untuk
korupsi”). Jika ada orang menyuap untuk tujuan baik, tetapi cara itu tetap
tidak baik. Antara niat dan tujuan harus harmonis.
Penggelapan
berpeluang dilakukan oleh orang yang diberi amanah. Jika ditafsirkan amanah itu
sangat luas bukan. Anak adalah amanah, jika mereka tidak disekolahkan bisa juga
“penggelapan: pembodohan”. Tendensi dari penggelapan versi PBB
sepertinya berhubungan dengan barang atau nominal uang. Kepala Dinas diberi
mobil dinas, eh dijual, itu penggelapan. Ada juga kawan minjam mobil,
pulang-pulang dibilang mobilnya dicuri, padahal dijual, itu juga penggelapan.
Amanah jika dijaga, ia menuju surga, jika tidak ia menuju neraka.
Pemalsuan
berpotensi dilakukan oleh orang yang berilmu. Ada orang yang ahli meniru tanda
tangan orang lain, ia berpotensi melakukan pemalsuan. Pada ahli komputer,
banyak berpotensi memalsukan, termasuk memalsukan ijazah. Singkatnya pemalsu
itu adalah orang berilmu. Bahkan lebih provokatif, Prof. Emeritus Dr. Ahmad
Tafsir menyebut orang yang pandai berbohong adalah orang pintar. Ilmu jika
dimanfaatkan, ia menuju surga, jika diselewengkan, ia menuju neraka.
Pemerasan
berpotensi dilakukan oleh yang memiliki kekuatan (power). Preman yang memiliki
keberanian ekstra berpotensi untuk memeras. Atasan berptensi melakukan
pemerasan terhadap bawahannya. Pernah penulis dengar dulu seorang camat sekolah
dinas, ia bercerita dengan bangga memeras kepala-kepala desanya. Polisi dan
tentara yang memiliki senjata api resmi berpotensi juga untuk melakukan
pemerasan. Power jika dimanfaatkan, ia menuju surga, jika disalahgunakan, ia
menuju neraka.
Penyalahgunaan
wewenang berpotensi orang yang diberi amanah dan tanggung jawab. Ada adagium
yang dikemukakan oleh politisi Itali kelahiran 1834, “absolutely power tends
to corrupt but absolute power corrupts
absolutely Artinya: Sungguh “kekuasaan itu cenderung melahirkan korupsi, tapi
kekuasaan yang absolute itu benar-benar korupsi.” Kekuasaan di tangan orang
beriman dan professional akan mensejahterakan rakyat, jika tidak “maka
tunggulah kehancuran itu”.
Bisnis
orang dalam (insider trading), pemberian komisi (illegal commission),
pilih kasih (favoritism), nepotisme (nepotism), dan sumbangan
illegal(illegal contributions), pada umumnya berhubungan dengan
kekuasaan dalam makna yang luas. Semakin besar kekuasannya, maka semakin besar
potensinya untuk melakukan tindak pidana korupsi tersebut.
Siapa
saja bisa saja korupsi. Ada kalanya orang tidak korupsi karena tidak ada
posisinya untuk korupsi. Sungguh hebat orang-orang yang punya peluang korupsi,
tetapi mereka tidak melakukannya.
Dalam
konteks korupsi “kelas kakap” yang ditangani KPK yang sering kita dengar dan
tonton mereka para Bupati, Wali Kota,
Gubernur, Menteri, Anggota DPR/DPRD, Penegak Hukum Polisi, Jaksa, dan Hakim,
Pejabat-Pejabat Negara lainnya, dan juga pengusaha. Jika analisa korupsi berada
kekuasaan dan “berkolaborasi” dengan “uang”. Dus, sasaran dakwah anti korupsi
itu pada pengusaha dan orang kaya.
Kenapa orang korupsi? jawabannya sangat beragama.
Secara empiric ini perlu diteliti langsung kepada para koruptor. Kenadalanya,
mereka yang terpidana korupsi saja jarang mengakui bahwa mereka koruptor.
Mungkin contoh yang mengakui dan bahkan melaporkannya adalah Agus Condro. Ia
mengaku menerima sogokan dalam pemilihan Deputi Gubernur Bank. Patut diduga,
dorongan utama seseorang korupsi adalah hegemoni budaya benda وتحبون المال حبا جما)). Kenikmatan dunia
ini menggiurkan dan menipu (متاع الغرور ).
Daya dorong lainnya adalah budaya. Korupsi dianggap
hal yang biasa dan dianggap kebiasaan. Jangan-jangan kalau para penguasa jujur,
mereka itu kebanyak korupsi daripada tidak. Penulis pernah melontarkan teori,
“pada dasarkan para pemimpin itu korupsi kecuali ia bisa membuktikkan bahwa ia
tidak korupsi”. Inilah di dalam istilah hukum yang diusulkan “pembuktian
terbalik”. Selama ini system hukum kita masih menganut “praduga tidak
bersalah”. Coba pikirkan, system kita rubah menjadi “praduga bersalah untuk
para pemimpin” (min ain iktasabta wa madza ‘amilta bihi: dari mana kamu dapat, dan untuk apa
kamu pergunakan).
Korupsi sebagai budaya harus kita tolak teorinya,
karena budaya sesuatu yang baik, sementara korupsi sesuatu yang buruk. Namun
jika dikatakan korupsi sudah membudaya bagi sebagian orang ini boleh jadi
benar.
Ada sebagian orang, termasuk Menteri Dalam Negeri,
melihat korupsi terjadi karena ongkos politik yang mahal (tuntutan politik).
Modal untuk menjadi Bupati, Wali Kota, Gebernur, dan apalagi Presiden itu
terlalu mahal. Untuk itulah system politik kita diperbaharui kata Prof. Dr.
Yusril Ihya Mahendra. Untuk menggerakkan partai politik perlu biaya, maka didiga
kuat korupsi juga dilakukan oleh para politisi untuk menghidupi partainya.
Itulah kenapa setiap KPK mengungkap korupsi, sering kali dihubungkan dengan
partai politik.
Sebagian orang seperti Yusril sangat yakin bahwa
system yang baik bisa mengatasi korupsi. Tentu system yang baik tidaklah
mengatasi semua masalah korupsi, karena yang membuat system itu manusia,
manusia selalu berkreasi. Menghindari pemotongan dana bantuan ke guru-guru
contohnya, maka pemerintah mentransfer langsung ke rekening yang bersangkutan.
Tapi, setelah masuk rekening orang-orang yang merasa berjasa, tetap bisa minta
setoran. Jika tidak diberikan, esok-lusa urusannya bisa dipersulit.
Korupsi juga bisa lahir dari sifat turunan yang
buruk, setidaknya itu menurut teori nativisme dan hereditas. Teori emperisisme
melihat lingkungan yang mempengaruhi sifat buruk itu. Untuk mencetak lingkungan
yang baik itu, pendidikan diyakini sangat tangguh melakukannya. Kita
membutuhkan lembaga pendidikan yang professional mencetak orang-orang yang jujur,
orang-orang yang ikhlas, orang-orang yang rajin, orang-orang yang kreatif.
Sepertinya mencetak orang pintar saat ini tidaklah terlalu susah, tetapi
mencetak kecerdasan emosial dan bahkan spiritual itu nampaknya masih susah.
Kita perlu simpati melihat lembaga pendidikan yang menekankan pendidikan
emosional dan spiritual. Contohnya, mengambil uang orang lain walaupun Rp.
1.000, bisa dipecat dari sekolah. Itu dilakukan secara konsisten oleh Pondok
Modern Gontor. Menyontek pada waktu ujian bisa diskorsing selam satu tahun, itu
juga dilakukan oleh Pondok Modern Gontor. Contoh-contoh yang baik itu perlu
dikemukakan ke publik agar bisa dicontoh. Contoh tersebut, bagian kecil dari
yang penulis alami, mungkin masih ada lagi institusi pendidikan lain yang
menerapkan standard moral yang tinggi, layak untuk kita kemukakan ke publik.
E. Bagaimana
Memperkecil Virus KKN?
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa secara
umum ada dua tugas pokok baik ulama dan cendekiawan, yaitu transfer of
knowledge dan transfer of
moral. dalam
tulisan ini, mari kita bicarakan apa itu moral atau karakter yang dalam bahasa
Islam lebih pupuler dengan akhlak dan bagaimana metode mengajarkannya. Mencetak
manusia berkarakter diyakini salah satu solusi untuk memperkecil virus KKN.
Mengatasi korupsi sepertinya kerja kolektif yang
tidak bisa diserahkan kepada KPK saja. KPK melakukan upaya hukum, sementara
masih ada upaya lain, seperti politik, budaya, pendidikan, ekonomi, social,
agama, dan sebagainya. Kali ini akan kita lihat dari upaya sosial, budaya, dan
agama yang diperankan oleh ulama dan cendekiawan. Ketiga perspektif ini akan
diintegrasikan dari satu nomenklatur pendidikan berjudul Pendidikan Karakter
dalam Memperkecil Virus KKN.
Karakter ada yang menyamakannya
dengan akhlak, kepribadian, watak bawaan, dan juga sifat khusus. Karakter dan
akhlak sama-sama sifat yang baik yang
dilakukan secara terus menerus. Pengertian terus menerus menurut penulis tidak
selalu baik, tapi pluktuatif, hanya saja kecenderungannya konsisten yang
memiliki peluang kecil untuk ”melanggar kontinuitas yang baik” itu. Kemudian
ada yang berpendapat bahwa karakter itu ada yang baik dan ada yang buruk
seperti halnya akhlak ada yang mengklasifikasikannya pada baik dan buruk.
Penulis berpendapat bahwa karakter
dan akhlak perlu dibedakan setidaknya dalam perspektif epistemologi dan
aksiologi. Secara epistemologis, akhlak itu harus bersumber atau memiliki
landasan dari al-Qur’an dan hadits (bi al-naqli) dimana ukuran
kebaikannya adalah wahyu, sementara karakter bi al-ra’yi, dimana ukuran
kebaikannya adalah akal dan batin. Secara aksiologis, karakter dihubungkan
dengan dorongan batin saja, sementara akhlak dihubungkan dengan dorongan
keikhlasan yang ada hubungannya dengan Allah Swt. Dalam batasan ontologis,
penulis cenderung menganggap kedua hal tersebut sama. Kemudian, penulis
berpendapat karakter itu bagian dari akhlak. Artinya ketika seseorang dikatakan
berakhlak, dengan sendirinya, ia juga berkarakter. Tetapi orang yang
berkarakter tidak berarti berakhlak. Kemudian, penulis berpendapat karakter dan
akhlak dalam makna positif, jadi tidak ada akhlak baik dan buruk demikian juga
tidak ada karakter baik dan buruk. Penulis juga setuju menggunakan klasifikasi
karakter yang kuat dan lemah dalam pengertian positif. Sama halnya dengan
kualitas akhlak dari level yang rendah sampai yang tinggi dalam makna yang
positif.
Pendidikan Karakter menurut
Sunaryo bagaikan pekerjaan mengukir, memberikan sentuhan agar barang tersebut
memiliki nilai lebih. Itulah sebabnya terkadang ukiran itu sendiri lebih
bernilai dari barang yang diukir. Dalam karakter itu ada nilai inti yang
berasal dari budaya. Lebih lanjut Sunaryo mengatakan, karakter bangsa mesti
dibentuk dari budaya bangsa itu sendiri.
Pendidikan moral atau pendidikan
karakter merupakan proses berkelanjutan yang tidak pernah berakhir (never
ending process). Karena itu, pendidikan karakter merupakan pendidikan
sepanjang hayat. Sudah selayaknyalah pendidikan karakter ini mendapat sentuhan
sejak dini, yang diupayakan serentak oleh rumah tangga, sekolah, dan
masyarakat, bahkan media massa.
Konfigurasi karakter ditetapkan
berdasarkan empat proses psikososial, yaitu olah pikir, olah hati,
olah raga, dan olah rasa/karsa. Olah pikir terdiri dari cerdas,
kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif,
berorientasi iptek, dan reflektif. Olah hati terdiri dari jujur, beriman,
bertakwa, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiki,
rela berkorban, dan berjiwa patriotik. Olah raga terdiri dari tangguh, bersih,
sehat, disiplin, sportif, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif,
kompetetif, dan ceria. Sementara olah rasa terdiri dari perduli, ramah, sopan,
santun, sapi, nyaman, saling menghargai, toleran, suka menolong, gotong royong,
nasionalis, kosmopolit, mengutamakan kepentingan umum, banggu menggunakan
bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, beretos kerja, dan gigih.
Secara singkat, pemerintah menyebutkan pendidikan karakter bertema Jurdastangli
(jujur, cerdas, tangguh, dan perduli).
Menurut al-Ghazali untuk mencapai karakater
itu semua hendaknya menggunakan metode berikut: metode tauladan (qudwah),
memberi perumpamaan (dharb al-mitsāl ), cerita ((al-qashas), kebiasaan (‘ādah),
kesegeraan dalam berbuat (al-mumārasah wa al-‘amal), diskusi dan
bercakap-cakap (al-munāqasyah wa al-hiwār), saran dan nasehat (al-‘izhah
wa al-nuṣḥ), dan terakhir reward dan punishment (al-tsawāb
wa al-’iqāb)
Keteladanan
Ada tiga generasi terbaik menurut
sebuah hadits, yaitu zaman Rasulullah, zaman sahabat, dan zaman tabi’in dan
kemudian zaman itu disebut dengan zaman salaf. Mereka yang mengikuti perilaku
rasul yang mulia itu disebut golongan al-salaf al-shalih. Secara tekstual di
dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw. sebagai tauladan umat.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ
وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya, ”Sesungguhnya telah
ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.” (Q.S. al-Ahzab/33:21)
Selain Nabi Muhammad dilegitimasi
sebagai tauladan umat, Nabi Ibrahim a.s. juga mendapat posisi yang sama.
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا
بُرَاء مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا
بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاء أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ
وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا
أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن شَيْءٍ رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا
وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
Artinya, ”Sesungguhnya telah ada suri teladan yang
baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka
berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan
dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah
nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai
kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya:
"Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat
menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata):
"Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada
Engkaulah kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali, (Q.S.
al-Mumtahah/60: 4)
Dua manusia terbaik yang
disebutkan di atas, dalam syariat Islam diabadikan dalam do’a pada tahiyat
akhir setiap shalat. ”alluhumma shalli ’ala Muhammad wa ’ala ali Muhammad,
kama shallaita ’ala Ibrahim wa ’ala ali Ibrahim, wa barik ’ala Muhammad wa ’ala
ali Muhammad kama barakta ’ala Ibrahim wa ’ala ali Ibrahim: Ya Allah
beri keselamatan bagi Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau memberi
keselamatan bagi Ibrahim dan keluarganya dan berilah berkah bagi Muhammad dan
keluarganya, sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim dan keluarganya).
Kita diperintahkan untuk mengikuti
Allah, Rasul, dan juga ”uli al-amri” (Q.S.
al-Nisa/4: 59). Rasul manusia pilihan Allah tentu tanpa pandang bulu
sebagai tauladan ummat, tetapi ”uli al-amri”, tidaklah semua dapat
dijadikan tauladan. Idealnya ”uli al-amri” itu adalah tauladan umat.
Raja Namrut, Raja Abraham, dan Raja Fir’aun di antara contoh yang bisa
dikatagorikan ”uli al-amri” yang tidak boleh dijadikan tauladan umat.
Selain itu, orang tua juga
idealnya adalah tauladan umat. Untuk itu, sebagai anak kita diperintahkan untuk
berbuat baik kepada mereka (Q.S. al-Isra/17:
23).
Seandainya mereka itu mengajak kita kepada kemusyrikan, kita tidak boleh
mengikutinya, tetapi tetap harus memperlakukan mereka secara baik (Q.S. Luqman/31: 15).
Tidaklah semua orang tua bisa dijadikan sebagai tauladan, di antara contohnya bapaknya
Nabi Ibrahim seorang yang paganis dan istri Nabi Luth juga seorang yang inkar
terhadap kebenaran Allah.
Ada pepatah mengatakan, ”Guru
kencing berdiri, murid kencing berlari”. Artinya, guru idealnya sebagai
tauladan umat. Di zaman modern ini menurut Syed Sajjad Husain dan Syed Ali
Ashraf hanya dipandang sebagai petugas negara atau swasta yang mendapat gaji
tanpa memiliki tanggung jawab moral, padahal mereka itu semestinya tauladan
yang harus ditiru. Dalam pengalaman penulis, guru tauladan itu susah dicari di
zaman hegemoni terhadap budaya benda sekarang ini. Masih sering ditemukan para
guru termasuk dalam makna ini dosen yang bukan ”penutur ilmu” yang baik. Di
antara ”penutur ilmu” yang baik itu tidak jarang ditemukan mereka bukan pelaku
yang baik terhadap ilmu mereka. Dalam pengertian ini jugalah barangkali yang
disinyalir oleh al-Qur’an ”kabur maqtan”. Di atas kertas, di depan
kelas, di atas mimbar atau podium, di dalam forum ilmiah mereka itu sepertinya
”calon penghuni surga potensial”. Realitasnya, tidak jarang di antara mereka
itu sekedar ”aktor” yang memerankan skenario profesinya.
Keteladanan berarti kesediaan
setiap orang untuk menjadi contoh dari sebuah perilaku. Perlihatkanlah kebaikan
itu bukan sekedar kata-kata. Mulai dari hal yang sepele, seperti mengambil air
minum untuk teman Anda sebagai bukti keperdulian Anda terhadapnya.
Memberi Contoh
Metode qudwah itu adalah sebagai
contoh, sementara dharb al-mitsal adalah memberi contoh dalam mengajarkan
karakter itu. Disinilah kita perlu contoh-contoh empirik. Rasulullah Saw. dan
khulafa al-Rasyidin di dalam Islam adalah contoh terbaik dari segala hal. Tapi
kita juga harus tahu bahwa kata Quraish Shihab, tidak semua boleh dicontoh dari
Rasulullah Saw., contoh tidak boleh mengikuti beliau dalam hal memiliki istri
lebih dari empat. Bukan untuk dicontoh Rasulullah Saw. disusui oleh orang lain,
jika sang ibu masih bisa menyusui. Bukanlah contoh tauladan untuk menikahi
wanita yang lebih tua, seperti beliau menikahi Khadijah diumur 40 tahun
sementara beliau berumur 25 tahun.
Sangat tidak salah kita memberikan
contoh dari Rasulullah Saw. dan Khulafa al-Rasyidin maupun para sahabat ataupun
tabi’in yang tergolong dalam salah al-shaleh. Itu contoh yang jauh, hendaknya
para penutur, pelatih, pengajar, dan pendidik karakter dapat memberi contoh
terdekat. Sangat lebih baik menurut penulis memberi contoh orang yang masih
hidup dan yang lebih dekat dengan orang yang diceramahi. Sering orang
menggunakan, ”Lihatlah Bapakmu, ia sungguh rajin bermasyarakat”, ”contohlah
abangmu rajin belajar”. Untuk itu, kita memerlukan ”guru kehidupan”. Kita
membutuhkan contoh manusia yang termawan, contoh manusia yang ramah, contoh
manusia yang rajin belajar, contoh manusia yang sopan, contoh manusia yang patriot,
contoh manusia yang senang menolong orang lain, contoh manusia yang toleran
terhadap perbedaan, contoh manusia yang setia dalam berkawan, dan contoh-contoh
guru kehidupan lainnya. Jika mereka itu adalah ada di sekitar kita, maka dengan
mudah kita memberi contoh kepada subyek didik kita.
Penulis berikan contoh dari olah
rasa dalam hal toleransi dari dua mantan murid Profesor Emeritus Mahmud Yunus,
yaitu K.H. Imam Zarkasyi dan Ali Hasyim yang ditulis dalam buku K.H. Imam
Zarkasyi di Mata Umat.
K.H. Imam Zarkasyi, pendiri Pondok
Modern Gontor dan Ali Hasyim, mantan Gubernur Aceh tahun 1957-1964 sering
diundang oleh MUI pusat dalam Rakernas atau Munas. Mungkin karena kedua tokoh
ini pernah berteman lama di Padang, maka mereka sering ditempatkan panitia
dalam satu kamar di sebuah hotel. Dalam kamar hotel ber-AC, kedua tokoh ini
pernah menginap bersama dalam acara Rakernas MUI. K.H. Imam Zarkasyi punya
penyakit tidak tahan dengan suhu dingin, sedangkan Ali Hasyim, punya penyakit
tidak tahan dengan suhu panas.
Apa yang terjadi, K.H. Imam
Zarkasyi minta AC dihidupkan, sementara ia bisa tidur dengan berselimut tebal.
Ali Hasyim minta AC dimatikan, ia bisa tidur dengan menggunakan piyam, untuk
mengurangi rasa panas. Permohonan untuk mengalah K.H. Imam Zarkasyi dikabulkan,
mungkin alasannya karena beliau lebih tua dari Ali Hasyimi 4 tahun. Kedua tokoh
ini tidur dalam kamar full AC. Begitu K.H. Imam Zarkasyi tertidur pulas, AC
dimatikan oleh Ali Hasyimi. Di tengah malam, K.H. Imam Zarkasyi terbangun
mungkin karena ingin ke kamar mandi, beliau melihat AC mati, ia hidupkan
kembali. Begitu K.H. Imam Zarkasyi tidur pulas kembali, Ali Hasyim mematikan AC
lagi. Begitu berulang berkali-kali sampai pagi menurut penuturan Ali Hasyimi.
Sungguh mereka memerankan dengan baik sikap tolerans dan mengalah untuk
kebahagiaan kawan. Malu kita yang sering memerankan sikap ingin menang sendiri,
tanpa perduli saudara kita menderita.
1. Cerita
Metode cerita disini diupayakan
berupa fakta bukan fiksi. Kisah nyata akan memiliki nilai ilmiah selain nilai
edukatifnya. Kemudian, jika berupa fiksi, maka kita sebaiknya menyampaikan
bahwa ini hanya ilustrasi dan media untuk menyampaikan kebaikan dan bukan yang
sesungguhnya. Pada metode ini banyak diperankan oleh media elektronik berupa
film dan sinetron. Gaya hidup anak-anak sangat mudah dipengaruhi oleh
tontonan-tontonan. Prof. Dr. Sofyan Siregar menyebutkan pentingnya umat Islam
memiliki media internasional untuk mengimbangi media yang Barat. Media bisa
menyajikan kebenaran sekaligus menyajikan keburukan. Sekarang ini, metode
ceramah para da’i sudah mulai mengadopsi metode ceramah. Sebelum ia ceramah, ia
tampilkan tayangan-tayangan agar menarik dilihat dan mudah diingat.
Karena peran media itu sangat
besar, maka metode kisah melalui cerita lewat ceramah perlu di up grade dengan
visualisasi yang menarik. Jadi menguasai komputer sekarang ini bisa jadi naik
status ”hukumnya” menjadi fard kifayah.
Otak menangkap enam hal, yaitu apa
yang dilihat, apa yang didengar, apa yang dikecap, apa yang disentuh, apa yang
dicium, dan apa yang dilakukan. Confucius mengatakan, ”What I hear, I
forget. What I see, I remember. What I do, I understand”. Dengan nada yang
hampir sama, Mel Siberman mengatakan, ”Apa yang saya dengar, saya lupa. Apa
yang saya dengar dan lihat, saya ingat sedikit. Apa yang saya dengar, saya
lihat, dan saya tanyakan atau diskusikan dengan beberapa orang, saya mulai
paham. Apa yang saya dengar, lihat, diskusikan, dan lakukan, saya memperoleh
pengetahuan dan keterampilan. Apa yang saya ajarkan pada orang lain, saya
kuasai.
Teori simulasi praktek di atas
mengajarkan bahwa membangun karakter membutuhkan
teori dan praktek. Kita lebih mudah memahami hal-hal yang sudah dipraktekkan.
Pengetahuan yang berasal dari pengalaman boleh jadi setara dengan apa yang
disebut dengan haqqu al-yaqin. Pengetahuan yang berasal dari penglihatan boleh
jadi setara dengan ’ain al-yaqin. Sementara pengetahuan yang berasal dari
pendengaran boleh jadi setara dengan ’ilm al-yaqin. Mengajarkan yang sudah
diamalkan lebih mudah dikuasai oleh otak.
Kebiasaan
Metode kebiasaan ini lebih tepat
disebut dengan pembiasaan. The custom makes something easy (kebiasaan membuat
sesuatu menjadi mudah). Terkadang orang mengatakan, kenapa seseorang malam
melaksanakan shalat, padahal berapa menit kah dibutuhkan untuk melaksanakan
shalat? Bukan persoalan waktu, tetapi persoalan kebiasaan. Kebiasaan itu
membuat sesuatu ringan. Kita patut iri melihat orang yang sudah terbiasa shalat
berjama’ah lima waktu. Terbiasa puasa senin-kamis seperti yang dilakukan oleh
B.J. Habibie atau puasa Nabi Daud, seperti yang dilakukan oleh Amien Rais. Kita
juga patut iri melihat ada orang yang sudah terbiasa setiap datangnya hari
Qur’an, ia minimal berkurban 1 ekor kambing. Kita patut belajar kepada orang
yang sudah terbiasa dengan senang hati mau menolong orang.
Ada kisah seorang ustadz
dikisahkan sangat dermawan. Jika ada orang kesusahan meminta bantuan materil
darinya, maka jarang orang itu pulang dengan tangan kosong. Jika seseorang
meminjam (utang) uang, ia tidak pernah bertanya kapan dipulangkan. Tetapi jika seseorang
berjanji, ia tidak tepati, maka dikemudian hari datang kembali meminta
pertolongan, maka ustadz tidak akan membantunya lagi. Sungguh pantas kita iri
melihat orang kaya yang ringan membatu kesusahan orang lain. Itu semua menjadi
ringan dilakukan karena kebiasaan. Proses membiasakannya itu memang membutuhkan
latihan yang ada kalanya lama. Mohon maaf, penulis dulu sering ditegor oleh
saudara sendiri agar minum dengan tangan kiri. Saya malu dan memulai untuk
membiasakan jika minum dengan tangan kanan. Sepertinya ada 3 bulan baru
berhasil. Orang Jepang saja mendidik anak TK untuk membuang sampah ke tempat
yang disediakan membutuhkan waktu 6 bulan.
Ada
yang mirip dengan metode ini, yaitu Repeat power adalah mengulang kata,
kalimat, atau sifat atau niali positif yang ingin dibangun. Para pemimpin muda
Jepang, biasanya detraining di Kuil-Kuil Shinto. Para instruktur mewajibkan
mereka mengucapkan kata, “Saya Juara” seratus kali dalam sehari. Hasilnya
dirasakan hebat, sehingga Jepang memiliki perusahan-perusahan hebat dan besar
di tingkat dunia.
Ibadah
shalat adalah bagian dari repeat power. Mari kita menghitung kata
“allahu akbar dalam shalat yang empat rakaat. Takbiratul ihram, do’a iftitah
bagi yang membaca, takbir ruku’, takbir sujud, takbir duduk antara dua sujud,
takbir sujud, takbir I’tidal untuk rakaat kedua (7x). Rakaat kedua: takbir
ruku’, takbir sujud, takbir duduk antara dua sujud, takbir sujud, takbir
tahiyat awal, takbir I’tidal untuk rakaat kedua (6x).Rakaat ketiga: Rakaat
kedua: takbir ruku’, takbir sujud, takbir duduk antara dua sujud, takbir sujud,
takbir I’tidal untuk rakaat keempat (5x). Rakaat keempat: Rakaat kedua: takbir ruku’, takbir sujud,
takbir duduk antara dua sujud, takbir sujud, takbir tahiyat akhir (5x). 7+6+5+5
= 23. Setelah habis shalat bagi yang mengamalkan dzikir takbir 33 kali, maka
satu shalat yang empat rakaat, menyebutkan 56 kali Allahu Akbar. 3 kali shalat
empat rakaat dalam sehari berarti 3x56 = 168 kali. Shalat yang tiga rakaat,
Rakaat pertama 7 x, rakaat kedua 6 x, rakaat ketiga 5, jumlah 18 kali ditambah
33 dzikir takbir, maka 51 kali. Shalat dua rakaat: rakaat pertama 7 kali.
Rakaat kedua 5 kali, jumlah 12 kali, ditambah 33 dzikir takbir, maka 45 kali.
Dengan demikian, repeat power takbir dalam shalat wajib berpotensi 168 + 51 +
45 = 264 kali mengulang Allahu Akbar.
Melihat
“teori Jepang itu”, para calon pemimpin dan pejabat-pejabat tinggi yang
berpotensi korupsi, cocok ditraining di Mesjid-Mesjid bukan di Hotel-Hotel
selama sebulan. I’tikaf di Mesjid selama sebulan, beribadah sebanyak-banyaknya,
mengucapkan kata, “Saya Jujur” 500 kali sehari dan “Saya Tidak Korupsi” 500
kali sehari. Mungkin hal seperti ini perlu direkomendasikan ke KPK.
Bersegera dalam Berbuat Baik
Niat baik harus disegerakan, kalau
niat buruk jangan dilakukan. Manusia ini punya musuh yang nyata, yaitu syaitan.
Syaitan akan memutarbalikkan kebenaran. Jika kita punya niat baik, maka ia akan
berusaha meyakinkan kita bahwa itu buruk dan sebaliknya.
الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ
وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاء وَاللّهُ يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلاً
وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya, ”Setan menjanjikan
(menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan
(kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan
Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah/2:
268)
Diskusi dan Tukar Pikiran
Adakalanya orang mau melakukan
kebaikan itu jika dalam pertimbangan akalnya hal tersebut baik. Untuk itu
banyak pesantren yang mengajarkan ”Mantiq” sabagai alat sarana berpikir logis.
Coba lihat cara berpikir yang
keliru ini. ”Berapa umurmu?”, ”umurku 15 tahun”. ”Berapa tinggi badanmu?”.
”Tinggi badanku 150 cm”. Lantas penanya berkesimpulan, pada umur 30 tahun,
berarti tinggi badanmu 300 cm dan umur 45 tahun 450 cm. Wah, keliru abis.
Ada logika awam yang pernah
dicerikana oleh Prof. Dr. Nur Fadil Lubis dalam ”Berpikir Sistemik”. Datang
seorang petugas pajak, menagih pajak bangunan anggota masyarakat. Anggota
masyarakat itu balik bertanya, ”kamu siapa dan dari mana?”. Petugas pajak
menjawab, ”Saya petugas pajak, dan berasal dari Jawa”. Anggota masyarakat ini orang Medan dan kasusnya pun
di Medan, ia balik berkomentar, ”Kenapa saya yang bayar pajak, mestinya bapak
dong, orang pendatang yang bayar pajak sama kami”. Petugas pajak, menerangkan,
”Bu setiap warga negara berkewajiban membayar pajak!”. Ibu itu akhirnya
berkomentar, ”Kalau begitu keluar aja saya dari warga negara”.
Nasehat dan Saran
Metode ini biasanya diperankan
orang yang memiliki hubungan hirarki struktural. Orang tua mendidik anak dengan
nasehat dan saran. Guru mendidik murid dan siswa dengan nasehat dan saran.
Atasan memberi nasehat dan saran pada bawahannya, dan sebagainya.
Kesan penulis khatib dan
penceramah sering terlibat dalam urusan nasehat dan saran. Hal yang perlu
diperhatikan jangan memberi nasehat dan saran, jika kita sendiri belum
melakukannya. Itu melangkar kode etik ”kabura maqtan”.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن
تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Artinya, ”Hai orang-orang yang
beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (Q.S. al-Shaff/61: 2-3)
Baca lagi Q.S. al-Baqarah/2: 44,
tidak boleh menyuruh orang lain berbuat baik, sementara kita tidak
melakukannya. Dalam pandangan penulis, jika terpaksa atau dianggap perlu
mengatakan kebaikan itu sementara kita belum melakukannya, katakan posisi kita
yang belum mengerjakannya, ajak jamaah untuk berusaha sama-sama melakukannya.
Metode Reward dan Punishmen
Reward berarti hadiah baik fisik maupun
non fisik. Punishment berarti hukuman. Metode ini sering dipakai dalam
pendidikan sekolah. Dalam rumah tangga juga sering dipakai, walaupun porsi
hukuman lebih sering digunakan.
Metode reward dengan
memberi penghargaan terhadap kebaikan yang dilakukan seseorang apalagi anak
umur sekolah perlu dikembangkan. Mari kita bayangkan jika kita menginginkan
murid SD dan SMP di Gunung Tua ini rajin menjalankan ibadah shalat 5 lima waktu
berjamaah. Barang siapa yang menjadi anak yang paling banyak dan paling baik
shalat jamaahnya 5 waktu dari Januari 2014 sampai Januari 2017, maka akan
diberikan hadiah 1 mobil Avanza. Bagi orang kaya membelikan Avanza, kecil!,
apalagi hadiahnya dikumpul gotong royong. Saudaraku, boleh dicoba. Boleh jadi
dari metode ia sudah banyak anak yang terbiasa shalat jamaah, sehingga tanpa
hadiah pun mereka tetapi menjaga shalat jamaah.
Menghargai tidaklah selamanya
dengan materi bisa juga dengan kata-kata yang baik, berupa pujian. Orang ingin
dipuji, walaupun cara memujinya harus dibedakan menurut tingkat umurnya. Jangan
samakan memuji anak TK dengan memuji mahasiswa. Bagaimana juga kalau kita
sepakat membuat hukuman, siapa yang korupsi, maka semua hartanya disita dan
pelakunya dihukum mati. Hukum itu pendekatan Yahudi. Lihat saja Allah
menurunkan wahyu Taurat kepada Yahudi dari 10 ajarannya, 9 itu adalah larangan.
Orang-orang yang keras kepala, bandel pendekatan hukum itu tepat, tetapi jangan
hukumannya ringan-ringan. Jangan-jangan orang yang tidak setuju dengan hukuman
mati buat koruptor itu, karena ia sedang atau berencana untuk korupsi atau
setidaknya ia berpotensi untuk korupsi ataupun saudaranya kemungkinan banyak
terlibat korupsi.
Selain metode pendidikan karakter yang
dikemukakan oleh al-Ghazali ada juga disebut Muwakif Saleh dengan metode Ikon
dan Afirmasi. Membangun kesepakatan nilai
keunggulan.
Metode Ikon dan Afirmasi
Metode ikon dan afirmasi merupakan
metode menempel atau menggantungkan kalimat-kalimat singkat dan mudah dihapal
yang dianggap positif. Tulisan tersebut dapat menggugah semangat sesuai dengan
tujuan yang menempel atau menggantungnya. Fuad Jabali dan Jamhari dalam
semangat berkarya mengutip kalimat Gustave Von Grunebaum yang mengatakan, ”Don’t
be afraid of publishing your work, just because, you think that people will
critize you: Jangan takut menerbitkan karyamu, hanya karena kamu kira
bahwa ada orang yang akan mengkritikmu” Kalimat itu diduga kuat dapat
memperkecil ketakutan para kreator untuk dikritik dan juga memperkuat
keberanian untuk berkarya. Semangat berkarya itu barangkali tidak kalah
hebatnya berpengaruh besar pada seseorang ketika membaca jargon berijtihat, ”al-mujtahidu
idza ijtihada faashaba falahu ajrani wa idza akhtha falahu ajrun wahid: orang
berijtihad, jika benar mendapat pahala dua, jika salah, maka mendapat pahala
satu”. Tidak kalah provokatifnya kalimat Ahmad Tafsir dalam berkarya, ia
menulis, ”tulislah yang salah, agar muncul yang benar”.
Membangun karakter dengan cara
menempel atau menggantung ini sering digunakan dalam pendidikan, di antaranya
oleh Pondok Modern Gontor. Jika Anda mengunjunginya, maka Anda akan banyak
menemukan kalimat-kalimat bijak menempel di dinding sebelah atas bangunan, baik
di ruang pertemuan, di asrama, maupun di jalan-jalan lingkungan pondok. Begitu
menjelang tahun ajaran baru, pada masa proses seleksi ujian masuk Pondok Modern
Gontor, calon santri menemukan tulis yang digantungkan dengan ukuran besar, ”Ke
Gontor Apa Yang Kamu Cari”. Pemerintah dan parpol tidak juga ketinggalan
menggunakan metode ini, hanya saja diduga kurang tulus. Contohnya, ”Orang baik,
taat pajak”, pegawai pajak, asik mengkorupsikan pajak. ”Katakan tidak untuk
korupsi”, yang mengkampenyekan terlibat korupsi. Slogan-slogan yang baik di
permerintahan sekarang ini hemat penulis cenderung verbalistik.
Membangun kesepakatan nilai keunggulan
Baik secara pribadi maupun secara kelembagaan
bisa dibuat suatu komitmen untuk membangun nilai-nilai positif dan
menjadikannya menjadi budaya sikap atau budaya kerja dan ditampilkan menjadi
karakter bersama yang disepakati secara bersama juga. Komitmen itu dijadikan
yel-yel maupun lagu wajib.
Renungilah lagu Indonesia Raya yang idealnya
dapat menambah kecintaan kita terhadap Indonesia, memupuk persatuan, dan
membangkitkan semangat merdeka. Sumpah
pemuda, hendaknya dapat mempersatukan kita dengan satu tanah air, satu bangsa,
dan satu bahasa. Dua contoh tersebut merupakan komitmen nilai keunggulan untuk
membangun karakter bangsa.
F.
Penutup
Penulis
sependapat dengan Prof. Dr (HC). Malik Fadjar bahwa berbicara teori telah
bergudang-gudang ditulis banyak orang. Tulisan dalam teori ini tidaklah sama
sekali baru, hanya saja obyeknya yang berbeda. Kita membaca banyak teori
mengatasi korupsi untuk tidak mengatakan memberantas korupsi, kemudian kita
sesuaikan dengan kelayakannya untuk kepentingan teknis. “Lain lubuk lain ikan”
mungkin perlu dipertimbang.
Persoalan manusia itu adalah kompleks sekali.
Membicarakan manusia tidak bisa menggunakan teori “hitam putih”. “Ia hari ini
bisa jadi bukan ia besok bahkan tidak jarang ia jam ini berbeda dengan ia satu
jam ke depan”. Korupsi sepertinya sudah “mendarah daging” di Negara kita ini,
untuk itulah ada yang menyebut “teori benang kusut”, entah darimana
dimulai untuk memperbaikinya. Teori ini tentu terkesan pesismis. Ada juga yang
menyebut, “teori potong kompas”, memberhentikan segera semua “generasi
koruptor”. Teori ini termasuk agresif. Ada juga yang menyebut teori, “top
down”, perbaikan dimulai dari atas kemudian yang bawah akan mudah
diperbaiki. Teori ini bisanya cocok dalam militer. Sebaliknya, ada juga yang
mengemukakan “bottom up”, perbaikan dari grass root menuju
pucuk pimpinan. Teori ini memperhatikan proses panjang. Ada juga teori yang
solutif dan sederhana, teori “ibda’ binafsik”, memulai dari apa
yang bisa kita lakukan.
Dalam
pandangan penulis, semua teori itu bagus-bagus dan banyak yang bisa
dipraktekkan, hanya saja penulis meragukan kemauan banyak orang. Masih banyak
orang menikmati “sistem KKN”. Contoh kecil, dulu pernah penulis mengalami
mengurus perpanjangan SIM tanpa ada calo dan pungutan liar, ada juga yang
berkomentar, jadi repot dan lambat. Katanya kalau dengan calo, sebentar selesai
dan repot.
Ulama
dan cendekiawan adalah punya kekuatan ilmu dan moral. Melalui kekuatan itulah
mestinya mereka berperan. Apalagi ulama dan cendekiawan ini memiliki double
peran. Ulama yang hakim atau hakim yang ulama, cendekiawan yang jaksa atau
jaksa yang cendekiawan, ulama yang polisi atau polisi yang ulama bisa berperan
sebagai kekuatan ilmu, moral, dan hukum. Kalau saja ada 10 ulama dan
cendekiawan yang diakui kekuatan ilmu dan moralnya di Paluta ini, kalau mau
pemilihan kepada Daerah dan presiden gak repot, tinggal kita tanya aja mereka
sepuluh. Aman kan? itu kalau benar-benar ada setingkat kualitas ilmu dan
kesalahan para tabi’in saja. Naudzu billah kalau ada ulama dan cendekiawan bisa
diperalat politik, sehingga muncul sebutan. Ini ulama partai A. Ini cendekiawan
partai B. Sehingga kalau kita minta fatwa, ia menggunakan prinsip politik, “right
or wrong is my party: ‘benar atau salah, pilihlah partai saya’”
Apapun
yang terjadi kita harus punya harapan terhadap Paluta ini. Baik-buruknya Paluta
ini adalah kampung kita. Mari kita bahu membahu dalam berbuat baik. Sekecil
apapun kontribusi kita, akan berguna untuk masa depan Paluta. Sepertinya waktu
setahun itu terasa sangat cepat. Tahun demi tahun, kita semakin dengan jadwal
kematian yang misterius, jika kematian datang, maka kesempatan berbuat baik
telah berakhir fa istabiqu al-khairat. Allahu ‘alam bi al-shawab.
DAFTAR BACAAN
Budhy Munawar Rachman (Ed.). Kontekstualisasi Doktrin Islam
dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995.
Daradjat,
Zakiah. Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia. cet. IV. Jakarta: Bulan
Bintang, 1977.
Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik
Bangsa. Bandung: Mizan, 1996.cet. 3.
Hussain,
S.S. & S.A. Ashraf. Crisis in Muslim Education. Jeddah:King Abdul
Aziz Universiti, 1979.
Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir
Lickona, Thomas. Educating for Character: Mendidik Untuk
Membentuk Karakter. Terjemahan Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: Bumi Aksar,
2012.
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2006.
Muhammad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi
Saleh,
Akh. Muwafik. Membangun Karakter dengan Hati Nurani. Jakarta:
Erlangga,2012.
Steenbrink, Karel A. Pesantren Madrasah Sekolah. Jakarta:
LP3ES, 1986. Cet. 2.
Tafsir,
Ahmad (Ed.). Epismologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: IAIN SGD
Bandung, 1995.
TIM.
K.H. Imam Zarkasyi di Mata Umat. Gontor: Gontor Press, 1996.
UURI No. 20 Tahun 2003
Wardun,
Vol. 65, sya’ban 1433.
Zuchdi,
Damiyati, dkk. Model Pendidikan Karakter. Yogyakarta: MP, 2013,
¨ Makalah dipresentasikan
di Seminar Nasional Peranan Ulama dan Cendekiawan Muslim dalam Memberantas KKN di
Gunung Tua, Selasa 17 Septermber 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar