Rabu, 18 September 2013

PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK MEMPERKECIL VIRUS KKN

PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK MEMPERKECIL VIRUS KKN¨
Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A.

A.    Pendahuluan
Korupsi di Indonesia menjadi hal yang serius, sehingga pemerintah, ikhlas atau tidak mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK dari namanya sepertinya mengerikan dan sekaligus menjanjikan. Mengerikan karena namanya pemberantasan, seakan-akan pasukan super power dalam segala bidang termasuk dalam bidang integritas moralnya yang tulus untuk benar-benar memberantas. Pemberantasan boleh jadi kata yang utopis, sehingga tidak mungkin terwujud zero corruption, jika memang korupsi itu bagian dari system hidup yang diciptakan oleh Allah. Ada yang baik, ada yang jahat. Ada yang memperbaiki bangsa, ada juga yang merusak bangsa, termasuk para koruptor. Naudzubillah, kita termasuk di dalamnya atau kita kandidat yang berminat untuk korupsi. Untuk itu jugalah judul makalah ini ditulis “…memperkecil virus korupsi”, karena teori itu lebih logis dan mudah dipertanggung jawabkan. KPK saja jika ditanya, kapan korupsi bisa diberantas, saya yakin mereka tidak berani menjawabnya.
Pada saat menggulingkan singgasana Soeharto, masing-masing kita berteriak untuk menyelesaikan korupsi. Ternyata, banyak juga orang yang berkomentar pasca Soeharto, korupsi malah semakin meraja lela. Walaupun dalam banyak data korupsi, tempatnya saja yang berpindah. Kepala daerah, banyak yang terlibat korupsi, demikian juga para pejabat dan pengusaha. Dalam hal urusan ibadah juga orang berani korupsi. Dalam kekesalan dan kesedihan bangsa, sebagian tokoh berkomentar. Prof. Dr. Mahfud M.D. mengatakan sudah habis rumus dan jurus untuk memberantas korupsi yang diberlakukan di Indonesia, tetapi tetap saja korupsi tidak terberantas. Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif mengatakan urat malu para koruptor itu sudah putus, sehingga dalam keadaan terpida pun mereka kelihatan tidak malu.
Belum selesai tugas KPK, dengan agresif panitia seminar ini mewacanakan kerja baru, yaitu memberantas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Jadi pemerintah, diberi “PR” oleh panitia ini untuk membentuk “Komisi Pemberantasan Kolusi” dan “Komisi Pemberantasan Nepotisme”. Klasifikasi tindak pidana korupsi yang dikeluarkan PBB mencakup kolusi dan nepotisme. Sementara menurut UU NO.31/1999 jo UU No.20/2001 tentang tindak pidana korupsi, hemat penulis, nepotisme tidak termasuk di dalamnya, tetapi kolusi termasuk di dalamnya. Kita berharap, seminar ini memang lahir dari niat baik. Dalam filsafat etika, tidak cukup niat baik, tetapi harus dilanjutkan kerja yang baik pula. Kemudian diakhiri dengan akibat yang baik dari pekerjaan itu. Perlu kita sama-sama mewaspadai para pelaku KKN yang punya niat buruk, tetapi caranya kelihatannya baik (mangakal akali).
Sebagai bangsa, kita memiliki tanggung jawab bersama dalam memperkecil virus KKN ini. Boleh jadi kita yang di ruangan ini belum semua setuju KKN itu diberantas. Karena boleh saja saat ini ada di antara kita yang diuntungkan dengan KKN, tentu ada juga yang dirugikan dengan KKN. Tapi nurani kita yang jujur sama menilai KKN itu tidak baik. Walaupun orang masih bisa berdebat panjang makna dari kolusi dan nepotisme. Tapi KKN dalam makna negative itu nurani kita menyetujui untuk diberantas, walaupun akal tidak, setidaknya akal saya mengatakan hampir mustahil memberantasnya. Yang mungkin kita lakukan adalah memperkecil, sekecil mungkin.
Dimana posisi atau keikutsertaan para ulama dan cendekiawan dalam hal memperkecil virus korupsi di Negara ini? hal inilah yang akan dibicarakan dalam makalah ini. Perspektif yang digunakan sesuai dengan permintaan panitia teori social, budaya, dan agama.

B.     Istilah: Ulama dan Cendekiawan.
1.      Ulama
Ulama menjadi kata yang tidak asing dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab. Ulama yang asalnya jamak dari ‘alim (orang yang berilmu). Di dalam al-Qur’an ada dua bentuk jamak dari ‘alim, yaitu ulama dan ‘alimun, tetapi istilah ulama inilah yang berhubungan dengan kepakaran ilmu.
Walaupun istilah ulama itu telah ma’lum bagi kita, apalagi bagi kalangan ulama, tetapi kata tekstual dari ulama, hanya disebutkan dua kali di dalam al-Qur’an. Pertama dalam Q.S. al-Syu’ara/26: 197 dan Q.S. Fatir/35: 28.
أَوَلَمْ يَكُن لَّهُمْ آيَةً أَن يَعْلَمَهُ عُلَمَاء بَنِي إِسْرَائِيلَ
Artinya, “Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israel mengetahuinya?”
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Artinya, “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.”
Kata ulama dalam Surah al-Syu’ara menyebutkan kata ulama bani Israil. Dalam tafsir Ibn Katsir disebutkan bahwa ulama bani Israil itu adalah orang yang memiliki pengetahuan Taurat, dimana mereka mengetahui ciri-ciri kerasulan Muhammad Saw. Mereka itu adalah orang jujur. Ulama disini mencakup ilmu dan akhlak. Sementara kata ulama di dalam kitab-kitab hadits menurut penelusuran Ensiklopedi Maktabah Syamilah disebutkan 31.091 kali dalam 1375 kitab.
Kata ulama dalam Surah Fatir ditafsirkan oleh Ibn Katsir dengan orang yang berilmu dan berakhlak. Ilmunya tidak saja untuk diomongkan saja, tetapi untuk diamalkan. Dengan ilmunya, ulama itu semakin tunduk kepada Allah.
Kata علم,عالم, و عمل adalah satu akar kata, huruf-huruf itu juga ada dalam علماء. Untuk itu, ulama menurut Prof. Dr. Komaruddin Hidayat adalah orang yang berilmu dan lebih khusus memiliki ilmu yang tinggi (pakar), berwawasan universal, dan mengamalkan ilmunya. Karena ia mengamalkan ilmu, untuk itu ia berakhlak mulia.
Jamak alim, alimun dan alamin disebutkan 4 kali di dalam al-Qur’an (al-Q.S. Yusuf: 44, al-Ankabut: 43, al-Anbiya: 51 dan 81). Kata tersebut tidaklah menunjukkan kekhususan pengetahuan. Namun al-Asfahani Mufradat fi Gharib al-Qur’an menyebutkan kata “’ilm” adalah mengetahui sesuatu dengan meyakinkan, tetapi tidak ditujukan untuk bidang ilmu tertentu.
2.      Cedekiawan
Cendekiawan dalam bahasa Inggrisnya intellectual. Intelektual berhubungan dengan dunia akademis. Untuk itu intelektual dan cendekiawan haruslah lahir dari sarjana. Ulama juga adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi bedanya ulama tidak dengan sendirinya harus sarjana.
Karena cendekiawan itu adalah intelektual, maka ia tentulah orang yang berilmu secara akademik. Karel A. Steenbrink menyebutkan bahwa dalam bukunya Pesantren Madrasah dan Sekolah bahwa disebut seseorang yang intelek mereka yang berpendidikan Barat atau memiliki ilmu profane atau lazim disebut pengetahuan umum, untuk membedakannya dengan pengetahuan agama. Kira-kira cendekiawan atau intelektual itu mereka para sarjana dari “ilmu-ilmu umum”, seperti Sarjana Ekonomi, Sarjana Politik, Sarjana Matematika, dan sebagainya. Tetapi sekarang ini sarjana di bidang “ilmu-ilmu agama” juga banyak disebut dengan intelektual atau cendekiawan. Tidak semua sarjana disebut orang sebagai intelektual atau cendekiawan, tetapi mereka yang memiliki kedalaman ilmu lah yang disebut dengan kaum intelektual. Dawam Rahardjo menyebutkan contoh intelektual atau cendekiawan itu seperti Prof. Dr. Quraish Shihab. Sepertinya mereka kaum cendekiawan pada ghalibnya orang-orang berpendidikan tinggi, tidak sekedar pendidikan S1 dan S2, tetapi yang berpendidikan S3.
Intelektual atau cendekiawan kata Prof. Dr. Hasan Asari selain memiliki ilmu yang mumpuni juga mereka haruslah orang yang mengurusi masyarakat. Untuk itulah ia mengatakan bahwa ulama dan intelektual atau cendekiawan itu sama. Sama-sama berilmu yang mumpuni dan sama-sama mengurusi masyarakat. Adapun ilmuan, hanya mengurusi ilmu, tetapi tidak mengurusi masyarakat.
Para ahli yang membedakan ulama dan intelektual, ulama mereka yang ahli di bidang agama, sementara intelektual mereka yang hali di bidang umum. Untuk menyempurnakan keilmuan dan harapan ideal, mereka menyebut ulama intelek. Prof. Abu Bakar Aceh menyebut ulama intelek itu seperti H. Agus Salim dan Muhammad Natsir. Dari istilah baru itu juga Wahid Hasyim menyebut istilah “Kyai Intelek”. Ulama intelek ini juga sering disebutkan oleh K.H. Imam Zarkasyi. Lebih kurang maknanya ahli ilmu agama dan umum. Baik ulama dan intelektual adalah sama-sama mengurusi masyarakat. Untuk itu baik ulama maupun intelektual atau cendekiawan mesti memiliki massa. Mereka bisa memiliki massa karena mereka memiliki force of knowledge dan force of moral.
Menurut penulis baik ulama maupun cendekiawan mereka yang memiliki ilmu yang tinggi, dalam bahasa Gontor “berpengetahuan luas” (‘ilm). Karena mereka berpengetahuan luas dengan sendirinya mereka juga berwawasan universal (‘alam). Terakhir mereka juga adalah orang-orang bermoral. Untuk itu, idelanya yang mengurusi masyarakat ini adalah orang-orang bermoral (‘amal).

C.    Dimana Ulama dan Cendekiawan Berada
Untuk mengidentifikasi siapa ulama dan cendekiawan bisa dilihat dari tugasnya. Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra tugas ulama itu adalah transfer of knowledge dan transfer of moral (penyampai ilmu dan moral). Profesi penyampai ilmu yang tidak diragukan adalah mereka para guru, dosen, pelatih, widya swara, peneliti, penceramah, dan para penulis yang dipublikasikan baik dalam lingkup kecil maupun besar (termasuk disini penulis skenario film dan pencipta lagu). Mereka yang menyampaikan ilmu itu baik dengan lisan ataupun dengan tulisan.
Para ulama sang ril peran dan pengaruhnya di masyarakat. Karena ulama ini memiliki pengaruh di masyarakat lah, maka para penguasa sering mendekati mereka untuk mendapkan dukungan rakyat. Tidak jarang juga ulama ini ditarik berpartisipasi aktif dalam politik, demi mendongkrak dukungan rakyat. Tentu ulama ada yang tergoda dengan politik, ada juga yang tidak. Menurut Prof. Dr. Said Agil Siraj, semestinya ada ulama yang menjaga gawang di masyarakat, tidak semua hijrah ke politik.
Ulama adalah gelar pemberian masyarakat. Menurut Munawir Sadjali tahun 1990-an ulama itu “makhluk langka”. Kelangkaan yang pertama di bidang penguasaan ilmu agama (perpengetahuan luas). Kelangkaan yang kedua, persoalan moral (berbudi tinggi). Bahkan kata Dawam Rahardjo, ada orang yang tidak diragukan ketinggian ilmunya seperti Prof. Dr. Quraish Shihab dan Prof Emeritus. Dr. Mukti Ali, dan mungkin juga dalam makna ini Prof. Emeritus. Dr. Nurcholish Madjid tidak disebut masyarakat dengan Kyai atau ulama. Mereka itu hanya disebut cendekiawan saja. Jika seseorang disebut ulama, maka bisa ditanyakan masyarakat mana yang menggelarnya ulama. Berdasarkan kriteria ulama di atas, ada gak yang memenuhi syarat disebut ulama di Paluta ini? Jika ada yang memenuhi syarat, sudahkan masyarakat menyebutnya ulama?
Lain halnya dengan cedekiawan, sesungguhnya kita bisa menyebutkan seseorang itu cendekiawan, jika memenuhi syarat keluasan ilmu dan pengabdiannya di masyarakat. Dilihat dari tugasnya, dosen sah disebut cendekiawan, karena ia memiliki 3 tugas pokok, yaitu manjalankan tugas pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Guru juga dengan kualifikasi minimal S1, berdasarkan UURI No. 20 tahun 2003, pasal 39 bisa berpotensi disebut cendekiawan. Sementara profesi yang berhubungan dengan transfer of knowledge memiliki keterikatan dengan mengurusi masyarakat pun berhak disebut dengan cendekiawan.

D.    Korupsi: Apa, Siapa, dan Kenapa?
Sebagaimana dikutip Muhaimain dalam Nuansa Baru Pendidikan Islam, PBB mengkalsifikasikan tindak pidana korupsi 10 macam, yaitu: suap (bribery), penggelapan (embezzlement), pemalsuan (fraud), pemerasan (extortion), penyalahgunaan wewenang (abuse of discretion), bisnis orang dalam (insider trading), pemberian komisi (illegal commission), pilih kasih (favoritism), nepotisme (nepotism), dan sumbangan illegal(illegal contributions).
Melihat 10 klasifikasi tindak pidana korupsi di atas, maka yang berpeluang besar melakukan korupsi dalam hal suap, tentu orang berduit, kita katakanlah orang kaya. Walaupun orang yang tidak kaya juga terkadang berutang untuk menyuap. Untuk masuk sekolah saja sudah ada yang menyuap, apalagi mau jadi PNS. Jadi bisa disebut the money tends to corrupt (“kekayaan berpotensi untuk korupsi”). Jika ada orang menyuap untuk tujuan baik, tetapi cara itu tetap tidak baik. Antara niat dan tujuan harus harmonis.
Penggelapan berpeluang dilakukan oleh orang yang diberi amanah. Jika ditafsirkan amanah itu sangat luas bukan. Anak adalah amanah, jika mereka tidak disekolahkan bisa juga “penggelapan: pembodohan”. Tendensi dari penggelapan versi PBB sepertinya berhubungan dengan barang atau nominal uang. Kepala Dinas diberi mobil dinas, eh dijual, itu penggelapan. Ada juga kawan minjam mobil, pulang-pulang dibilang mobilnya dicuri, padahal dijual, itu juga penggelapan. Amanah jika dijaga, ia menuju surga, jika tidak ia menuju neraka.
Pemalsuan berpotensi dilakukan oleh orang yang berilmu. Ada orang yang ahli meniru tanda tangan orang lain, ia berpotensi melakukan pemalsuan. Pada ahli komputer, banyak berpotensi memalsukan, termasuk memalsukan ijazah. Singkatnya pemalsu itu adalah orang berilmu. Bahkan lebih provokatif, Prof. Emeritus Dr. Ahmad Tafsir menyebut orang yang pandai berbohong adalah orang pintar. Ilmu jika dimanfaatkan, ia menuju surga, jika diselewengkan, ia menuju neraka.
Pemerasan berpotensi dilakukan oleh yang memiliki kekuatan (power). Preman yang memiliki keberanian ekstra berpotensi untuk memeras. Atasan berptensi melakukan pemerasan terhadap bawahannya. Pernah penulis dengar dulu seorang camat sekolah dinas, ia bercerita dengan bangga memeras kepala-kepala desanya. Polisi dan tentara yang memiliki senjata api resmi berpotensi juga untuk melakukan pemerasan. Power jika dimanfaatkan, ia menuju surga, jika disalahgunakan, ia menuju neraka.
Penyalahgunaan wewenang berpotensi orang yang diberi amanah dan tanggung jawab. Ada adagium yang dikemukakan oleh politisi Itali kelahiran 1834, “absolutely power tends to corrupt  but  absolute power corrupts absolutely Artinya: Sungguh “kekuasaan itu cenderung melahirkan korupsi, tapi kekuasaan yang absolute itu benar-benar korupsi.” Kekuasaan di tangan orang beriman dan professional akan mensejahterakan rakyat, jika tidak “maka tunggulah kehancuran itu”.
Bisnis orang dalam (insider trading), pemberian komisi (illegal commission), pilih kasih (favoritism), nepotisme (nepotism), dan sumbangan illegal(illegal contributions), pada umumnya berhubungan dengan kekuasaan dalam makna yang luas. Semakin besar kekuasannya, maka semakin besar potensinya untuk melakukan tindak pidana korupsi tersebut.
Siapa saja bisa saja korupsi. Ada kalanya orang tidak korupsi karena tidak ada posisinya untuk korupsi. Sungguh hebat orang-orang yang punya peluang korupsi, tetapi mereka tidak melakukannya.
Dalam konteks korupsi “kelas kakap” yang ditangani KPK yang sering kita dengar dan tonton mereka para Bupati, Wali Kota, Gubernur, Menteri, Anggota DPR/DPRD, Penegak Hukum Polisi, Jaksa, dan Hakim, Pejabat-Pejabat Negara lainnya, dan juga pengusaha. Jika analisa korupsi berada kekuasaan dan “berkolaborasi” dengan “uang”. Dus, sasaran dakwah anti korupsi itu pada pengusaha dan orang kaya.
Kenapa orang korupsi? jawabannya sangat beragama. Secara empiric ini perlu diteliti langsung kepada para koruptor. Kenadalanya, mereka yang terpidana korupsi saja jarang mengakui bahwa mereka koruptor. Mungkin contoh yang mengakui dan bahkan melaporkannya adalah Agus Condro. Ia mengaku menerima sogokan dalam pemilihan Deputi Gubernur Bank. Patut diduga, dorongan utama seseorang korupsi adalah hegemoni budaya benda  وتحبون المال حبا جما)). Kenikmatan dunia ini menggiurkan dan menipu (متاع الغرور  ).
Daya dorong lainnya adalah budaya. Korupsi dianggap hal yang biasa dan dianggap kebiasaan. Jangan-jangan kalau para penguasa jujur, mereka itu kebanyak korupsi daripada tidak. Penulis pernah melontarkan teori, “pada dasarkan para pemimpin itu korupsi kecuali ia bisa membuktikkan bahwa ia tidak korupsi”. Inilah di dalam istilah hukum yang diusulkan “pembuktian terbalik”. Selama ini system hukum kita masih menganut “praduga tidak bersalah”. Coba pikirkan, system kita rubah menjadi “praduga bersalah untuk para pemimpin” (min ain iktasabta wa madza ‘amilta bihi: dari mana kamu dapat, dan untuk apa kamu pergunakan).
Korupsi sebagai budaya harus kita tolak teorinya, karena budaya sesuatu yang baik, sementara korupsi sesuatu yang buruk. Namun jika dikatakan korupsi sudah membudaya bagi sebagian orang ini boleh jadi benar.
Ada sebagian orang, termasuk Menteri Dalam Negeri, melihat korupsi terjadi karena ongkos politik yang mahal (tuntutan politik). Modal untuk menjadi Bupati, Wali Kota, Gebernur, dan apalagi Presiden itu terlalu mahal. Untuk itulah system politik kita diperbaharui kata Prof. Dr. Yusril Ihya Mahendra. Untuk menggerakkan partai politik perlu biaya, maka didiga kuat korupsi juga dilakukan oleh para politisi untuk menghidupi partainya. Itulah kenapa setiap KPK mengungkap korupsi, sering kali dihubungkan dengan partai politik.
Sebagian orang seperti Yusril sangat yakin bahwa system yang baik bisa mengatasi korupsi. Tentu system yang baik tidaklah mengatasi semua masalah korupsi, karena yang membuat system itu manusia, manusia selalu berkreasi. Menghindari pemotongan dana bantuan ke guru-guru contohnya, maka pemerintah mentransfer langsung ke rekening yang bersangkutan. Tapi, setelah masuk rekening orang-orang yang merasa berjasa, tetap bisa minta setoran. Jika tidak diberikan, esok-lusa urusannya bisa dipersulit.
Korupsi juga bisa lahir dari sifat turunan yang buruk, setidaknya itu menurut teori nativisme dan hereditas. Teori emperisisme melihat lingkungan yang mempengaruhi sifat buruk itu. Untuk mencetak lingkungan yang baik itu, pendidikan diyakini sangat tangguh melakukannya. Kita membutuhkan lembaga pendidikan yang professional mencetak orang-orang yang jujur, orang-orang yang ikhlas, orang-orang yang rajin, orang-orang yang kreatif. Sepertinya mencetak orang pintar saat ini tidaklah terlalu susah, tetapi mencetak kecerdasan emosial dan bahkan spiritual itu nampaknya masih susah. Kita perlu simpati melihat lembaga pendidikan yang menekankan pendidikan emosional dan spiritual. Contohnya, mengambil uang orang lain walaupun Rp. 1.000, bisa dipecat dari sekolah. Itu dilakukan secara konsisten oleh Pondok Modern Gontor. Menyontek pada waktu ujian bisa diskorsing selam satu tahun, itu juga dilakukan oleh Pondok Modern Gontor. Contoh-contoh yang baik itu perlu dikemukakan ke publik agar bisa dicontoh. Contoh tersebut, bagian kecil dari yang penulis alami, mungkin masih ada lagi institusi pendidikan lain yang menerapkan standard moral yang tinggi, layak untuk kita kemukakan ke publik.

E.  Bagaimana Memperkecil Virus KKN?
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa secara umum ada dua tugas pokok baik ulama dan cendekiawan, yaitu transfer of knowledge dan transfer of moral. dalam tulisan ini, mari kita bicarakan apa itu moral atau karakter yang dalam bahasa Islam lebih pupuler dengan akhlak dan bagaimana metode mengajarkannya. Mencetak manusia berkarakter diyakini salah satu solusi untuk memperkecil virus KKN.
Mengatasi korupsi sepertinya kerja kolektif yang tidak bisa diserahkan kepada KPK saja. KPK melakukan upaya hukum, sementara masih ada upaya lain, seperti politik, budaya, pendidikan, ekonomi, social, agama, dan sebagainya. Kali ini akan kita lihat dari upaya sosial, budaya, dan agama yang diperankan oleh ulama dan cendekiawan. Ketiga perspektif ini akan diintegrasikan dari satu nomenklatur pendidikan berjudul Pendidikan Karakter dalam Memperkecil Virus KKN.
Karakter ada yang menyamakannya dengan akhlak, kepribadian, watak bawaan, dan juga sifat khusus. Karakter dan akhlak sama-sama sifat  yang baik yang dilakukan secara terus menerus. Pengertian terus menerus menurut penulis tidak selalu baik, tapi pluktuatif, hanya saja kecenderungannya konsisten yang memiliki peluang kecil untuk ”melanggar kontinuitas yang baik” itu. Kemudian ada yang berpendapat bahwa karakter itu ada yang baik dan ada yang buruk seperti halnya akhlak ada yang mengklasifikasikannya pada baik dan buruk.
Penulis berpendapat bahwa karakter dan akhlak perlu dibedakan setidaknya dalam perspektif epistemologi dan aksiologi. Secara epistemologis, akhlak itu harus bersumber atau memiliki landasan dari al-Qur’an dan hadits (bi al-naqli) dimana ukuran kebaikannya adalah wahyu, sementara karakter bi al-ra’yi, dimana ukuran kebaikannya adalah akal dan batin. Secara aksiologis, karakter dihubungkan dengan dorongan batin saja, sementara akhlak dihubungkan dengan dorongan keikhlasan yang ada hubungannya dengan Allah Swt. Dalam batasan ontologis, penulis cenderung menganggap kedua hal tersebut sama. Kemudian, penulis berpendapat karakter itu bagian dari akhlak. Artinya ketika seseorang dikatakan berakhlak, dengan sendirinya, ia juga berkarakter. Tetapi orang yang berkarakter tidak berarti berakhlak. Kemudian, penulis berpendapat karakter dan akhlak dalam makna positif, jadi tidak ada akhlak baik dan buruk demikian juga tidak ada karakter baik dan buruk. Penulis juga setuju menggunakan klasifikasi karakter yang kuat dan lemah dalam pengertian positif. Sama halnya dengan kualitas akhlak dari level yang rendah sampai yang tinggi dalam makna yang positif.
Pendidikan Karakter menurut Sunaryo bagaikan pekerjaan mengukir, memberikan sentuhan agar barang tersebut memiliki nilai lebih. Itulah sebabnya terkadang ukiran itu sendiri lebih bernilai dari barang yang diukir. Dalam karakter itu ada nilai inti yang berasal dari budaya. Lebih lanjut Sunaryo mengatakan, karakter bangsa mesti dibentuk dari budaya bangsa itu sendiri.
Pendidikan moral atau pendidikan karakter merupakan proses berkelanjutan yang tidak pernah berakhir (never ending process). Karena itu, pendidikan karakter merupakan pendidikan sepanjang hayat. Sudah selayaknyalah pendidikan karakter ini mendapat sentuhan sejak dini, yang diupayakan serentak oleh rumah tangga, sekolah, dan masyarakat, bahkan media massa.
Konfigurasi karakter ditetapkan berdasarkan empat proses psikososial, yaitu olah pikir, olah hati, olah raga, dan olah rasa/karsa. Olah pikir terdiri dari cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi iptek, dan reflektif. Olah hati terdiri dari jujur, beriman, bertakwa, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiki, rela berkorban, dan berjiwa patriotik. Olah raga terdiri dari tangguh, bersih, sehat, disiplin, sportif, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, kompetetif, dan ceria. Sementara olah rasa terdiri dari perduli, ramah, sopan, santun, sapi, nyaman, saling menghargai, toleran, suka menolong, gotong royong, nasionalis, kosmopolit, mengutamakan kepentingan umum, banggu menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, beretos kerja, dan gigih. Secara singkat, pemerintah menyebutkan pendidikan karakter bertema Jurdastangli (jujur, cerdas, tangguh, dan perduli).
Menurut al-Ghazali untuk mencapai karakater itu semua hendaknya menggunakan metode berikut: metode tauladan (qudwah), memberi perumpamaan (dharb al-mitsāl ), cerita ((al-qashas), kebiasaan (‘ādah), kesegeraan dalam berbuat (al-mumārasah wa al-‘amal), diskusi dan bercakap-cakap (al-munāqasyah wa al-hiwār), saran dan nasehat (al-‘izhah wa al-nuṣḥ), dan terakhir reward dan punishment (al-tsawāb wa al-’iqāb)
Keteladanan
Ada tiga generasi terbaik menurut sebuah hadits, yaitu zaman Rasulullah, zaman sahabat, dan zaman tabi’in dan kemudian zaman itu disebut dengan zaman salaf. Mereka yang mengikuti perilaku rasul yang mulia itu disebut golongan al-salaf al-shalih. Secara tekstual di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw. sebagai tauladan umat.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya, ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. al-Ahzab/33:21)
Selain Nabi Muhammad dilegitimasi sebagai tauladan umat, Nabi Ibrahim a.s. juga mendapat posisi yang sama.
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاء مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاء أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن شَيْءٍ رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
Artinya, ”Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali, (Q.S. al-Mumtahah/60: 4)

Dua manusia terbaik yang disebutkan di atas, dalam syariat Islam diabadikan dalam do’a pada tahiyat akhir setiap shalat. ”alluhumma shalli ’ala Muhammad wa ’ala ali Muhammad, kama shallaita ’ala Ibrahim wa ’ala ali Ibrahim, wa barik ’ala Muhammad wa ’ala ali Muhammad kama barakta ’ala Ibrahim wa ’ala ali Ibrahim: Ya Allah beri keselamatan bagi Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau memberi keselamatan bagi Ibrahim dan keluarganya dan berilah berkah bagi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim dan keluarganya).
Kita diperintahkan untuk mengikuti Allah, Rasul, dan juga ”uli al-amri” (Q.S. al-Nisa/4: 59). Rasul manusia pilihan Allah tentu tanpa pandang bulu sebagai tauladan ummat, tetapi ”uli al-amri”, tidaklah semua dapat dijadikan tauladan. Idealnya ”uli al-amri” itu adalah tauladan umat. Raja Namrut, Raja Abraham, dan Raja Fir’aun di antara contoh yang bisa dikatagorikan ”uli al-amri” yang tidak boleh dijadikan tauladan umat.
Selain itu, orang tua juga idealnya adalah tauladan umat. Untuk itu, sebagai anak kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada mereka (Q.S. al-Isra/17: 23). Seandainya mereka itu mengajak kita kepada kemusyrikan, kita tidak boleh mengikutinya, tetapi tetap harus memperlakukan mereka secara baik (Q.S. Luqman/31: 15). Tidaklah semua orang tua bisa dijadikan sebagai tauladan, di antara contohnya bapaknya Nabi Ibrahim seorang yang paganis dan istri Nabi Luth juga seorang yang inkar terhadap kebenaran Allah.
Ada pepatah mengatakan, ”Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Artinya, guru idealnya sebagai tauladan umat. Di zaman modern ini menurut Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf hanya dipandang sebagai petugas negara atau swasta yang mendapat gaji tanpa memiliki tanggung jawab moral, padahal mereka itu semestinya tauladan yang harus ditiru. Dalam pengalaman penulis, guru tauladan itu susah dicari di zaman hegemoni terhadap budaya benda sekarang ini. Masih sering ditemukan para guru termasuk dalam makna ini dosen yang bukan ”penutur ilmu” yang baik. Di antara ”penutur ilmu” yang baik itu tidak jarang ditemukan mereka bukan pelaku yang baik terhadap ilmu mereka. Dalam pengertian ini jugalah barangkali yang disinyalir oleh al-Qur’an ”kabur maqtan”. Di atas kertas, di depan kelas, di atas mimbar atau podium, di dalam forum ilmiah mereka itu sepertinya ”calon penghuni surga potensial”. Realitasnya, tidak jarang di antara mereka itu sekedar ”aktor” yang memerankan skenario profesinya.
Keteladanan berarti kesediaan setiap orang untuk menjadi contoh dari sebuah perilaku. Perlihatkanlah kebaikan itu bukan sekedar kata-kata. Mulai dari hal yang sepele, seperti mengambil air minum untuk teman Anda sebagai bukti keperdulian Anda terhadapnya.
Memberi Contoh
Metode qudwah itu adalah sebagai contoh, sementara dharb al-mitsal adalah memberi contoh dalam mengajarkan karakter itu. Disinilah kita perlu contoh-contoh empirik. Rasulullah Saw. dan khulafa al-Rasyidin di dalam Islam adalah contoh terbaik dari segala hal. Tapi kita juga harus tahu bahwa kata Quraish Shihab, tidak semua boleh dicontoh dari Rasulullah Saw., contoh tidak boleh mengikuti beliau dalam hal memiliki istri lebih dari empat. Bukan untuk dicontoh Rasulullah Saw. disusui oleh orang lain, jika sang ibu masih bisa menyusui. Bukanlah contoh tauladan untuk menikahi wanita yang lebih tua, seperti beliau menikahi Khadijah diumur 40 tahun sementara beliau berumur 25 tahun.
Sangat tidak salah kita memberikan contoh dari Rasulullah Saw. dan Khulafa al-Rasyidin maupun para sahabat ataupun tabi’in yang tergolong dalam salah al-shaleh. Itu contoh yang jauh, hendaknya para penutur, pelatih, pengajar, dan pendidik karakter dapat memberi contoh terdekat. Sangat lebih baik menurut penulis memberi contoh orang yang masih hidup dan yang lebih dekat dengan orang yang diceramahi. Sering orang menggunakan, ”Lihatlah Bapakmu, ia sungguh rajin bermasyarakat”, ”contohlah abangmu rajin belajar”. Untuk itu, kita memerlukan ”guru kehidupan”. Kita membutuhkan contoh manusia yang termawan, contoh manusia yang ramah, contoh manusia yang rajin belajar, contoh manusia yang sopan, contoh manusia yang patriot, contoh manusia yang senang menolong orang lain, contoh manusia yang toleran terhadap perbedaan, contoh manusia yang setia dalam berkawan, dan contoh-contoh guru kehidupan lainnya. Jika mereka itu adalah ada di sekitar kita, maka dengan mudah kita memberi contoh kepada subyek didik kita.
Penulis berikan contoh dari olah rasa dalam hal toleransi dari dua mantan murid Profesor Emeritus Mahmud Yunus, yaitu K.H. Imam Zarkasyi dan Ali Hasyim yang ditulis dalam buku K.H. Imam Zarkasyi di Mata Umat.
K.H. Imam Zarkasyi, pendiri Pondok Modern Gontor dan Ali Hasyim, mantan Gubernur Aceh tahun 1957-1964 sering diundang oleh MUI pusat dalam Rakernas atau Munas. Mungkin karena kedua tokoh ini pernah berteman lama di Padang, maka mereka sering ditempatkan panitia dalam satu kamar di sebuah hotel. Dalam kamar hotel ber-AC, kedua tokoh ini pernah menginap bersama dalam acara Rakernas MUI. K.H. Imam Zarkasyi punya penyakit tidak tahan dengan suhu dingin, sedangkan Ali Hasyim, punya penyakit tidak tahan dengan suhu panas.
Apa yang terjadi, K.H. Imam Zarkasyi minta AC dihidupkan, sementara ia bisa tidur dengan berselimut tebal. Ali Hasyim minta AC dimatikan, ia bisa tidur dengan menggunakan piyam, untuk mengurangi rasa panas. Permohonan untuk mengalah K.H. Imam Zarkasyi dikabulkan, mungkin alasannya karena beliau lebih tua dari Ali Hasyimi 4 tahun. Kedua tokoh ini tidur dalam kamar full AC. Begitu K.H. Imam Zarkasyi tertidur pulas, AC dimatikan oleh Ali Hasyimi. Di tengah malam, K.H. Imam Zarkasyi terbangun mungkin karena ingin ke kamar mandi, beliau melihat AC mati, ia hidupkan kembali. Begitu K.H. Imam Zarkasyi tidur pulas kembali, Ali Hasyim mematikan AC lagi. Begitu berulang berkali-kali sampai pagi menurut penuturan Ali Hasyimi. Sungguh mereka memerankan dengan baik sikap tolerans dan mengalah untuk kebahagiaan kawan. Malu kita yang sering memerankan sikap ingin menang sendiri, tanpa perduli saudara kita menderita.
1.      Cerita
Metode cerita disini diupayakan berupa fakta bukan fiksi. Kisah nyata akan memiliki nilai ilmiah selain nilai edukatifnya. Kemudian, jika berupa fiksi, maka kita sebaiknya menyampaikan bahwa ini hanya ilustrasi dan media untuk menyampaikan kebaikan dan bukan yang sesungguhnya. Pada metode ini banyak diperankan oleh media elektronik berupa film dan sinetron. Gaya hidup anak-anak sangat mudah dipengaruhi oleh tontonan-tontonan. Prof. Dr. Sofyan Siregar menyebutkan pentingnya umat Islam memiliki media internasional untuk mengimbangi media yang Barat. Media bisa menyajikan kebenaran sekaligus menyajikan keburukan. Sekarang ini, metode ceramah para da’i sudah mulai mengadopsi metode ceramah. Sebelum ia ceramah, ia tampilkan tayangan-tayangan agar menarik dilihat dan mudah diingat.
Karena peran media itu sangat besar, maka metode kisah melalui cerita lewat ceramah perlu di up grade dengan visualisasi yang menarik. Jadi menguasai komputer sekarang ini bisa jadi naik status ”hukumnya” menjadi fard kifayah.
Otak menangkap enam hal, yaitu apa yang dilihat, apa yang didengar, apa yang dikecap, apa yang disentuh, apa yang dicium, dan apa yang dilakukan. Confucius mengatakan, ”What I hear, I forget. What I see, I remember. What I do, I understand”. Dengan nada yang hampir sama, Mel Siberman mengatakan, ”Apa yang saya dengar, saya lupa. Apa yang saya dengar dan lihat, saya ingat sedikit. Apa yang saya dengar, saya lihat, dan saya tanyakan atau diskusikan dengan beberapa orang, saya mulai paham. Apa yang saya dengar, lihat, diskusikan, dan lakukan, saya memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Apa yang saya ajarkan pada orang lain, saya kuasai.
Teori simulasi praktek di atas mengajarkan bahwa membangun karakter  membutuhkan teori dan praktek. Kita lebih mudah memahami hal-hal yang sudah dipraktekkan. Pengetahuan yang berasal dari pengalaman boleh jadi setara dengan apa yang disebut dengan haqqu al-yaqin. Pengetahuan yang berasal dari penglihatan boleh jadi setara dengan ’ain al-yaqin. Sementara pengetahuan yang berasal dari pendengaran boleh jadi setara dengan ’ilm al-yaqin. Mengajarkan yang sudah diamalkan lebih mudah dikuasai oleh otak.
Kebiasaan
Metode kebiasaan ini lebih tepat disebut dengan pembiasaan. The custom makes something easy (kebiasaan membuat sesuatu menjadi mudah). Terkadang orang mengatakan, kenapa seseorang malam melaksanakan shalat, padahal berapa menit kah dibutuhkan untuk melaksanakan shalat? Bukan persoalan waktu, tetapi persoalan kebiasaan. Kebiasaan itu membuat sesuatu ringan. Kita patut iri melihat orang yang sudah terbiasa shalat berjama’ah lima waktu. Terbiasa puasa senin-kamis seperti yang dilakukan oleh B.J. Habibie atau puasa Nabi Daud, seperti yang dilakukan oleh Amien Rais. Kita juga patut iri melihat ada orang yang sudah terbiasa setiap datangnya hari Qur’an, ia minimal berkurban 1 ekor kambing. Kita patut belajar kepada orang yang sudah terbiasa dengan senang hati mau menolong orang.
Ada kisah seorang ustadz dikisahkan sangat dermawan. Jika ada orang kesusahan meminta bantuan materil darinya, maka jarang orang itu pulang dengan tangan kosong. Jika seseorang meminjam (utang) uang, ia tidak pernah bertanya kapan dipulangkan. Tetapi jika seseorang berjanji, ia tidak tepati, maka dikemudian hari datang kembali meminta pertolongan, maka ustadz tidak akan membantunya lagi. Sungguh pantas kita iri melihat orang kaya yang ringan membatu kesusahan orang lain. Itu semua menjadi ringan dilakukan karena kebiasaan. Proses membiasakannya itu memang membutuhkan latihan yang ada kalanya lama. Mohon maaf, penulis dulu sering ditegor oleh saudara sendiri agar minum dengan tangan kiri. Saya malu dan memulai untuk membiasakan jika minum dengan tangan kanan. Sepertinya ada 3 bulan baru berhasil. Orang Jepang saja mendidik anak TK untuk membuang sampah ke tempat yang disediakan membutuhkan waktu 6 bulan.
Ada yang mirip dengan metode ini, yaitu Repeat power adalah mengulang kata, kalimat, atau sifat atau niali positif yang ingin dibangun. Para pemimpin muda Jepang, biasanya detraining di Kuil-Kuil Shinto. Para instruktur mewajibkan mereka mengucapkan kata, “Saya Juara” seratus kali dalam sehari. Hasilnya dirasakan hebat, sehingga Jepang memiliki perusahan-perusahan hebat dan besar di tingkat dunia.
Ibadah shalat adalah bagian dari repeat power. Mari kita menghitung kata “allahu akbar dalam shalat yang empat rakaat. Takbiratul ihram, do’a iftitah bagi yang membaca, takbir ruku’, takbir sujud, takbir duduk antara dua sujud, takbir sujud, takbir I’tidal untuk rakaat kedua (7x). Rakaat kedua: takbir ruku’, takbir sujud, takbir duduk antara dua sujud, takbir sujud, takbir tahiyat awal, takbir I’tidal untuk rakaat kedua (6x).Rakaat ketiga: Rakaat kedua: takbir ruku’, takbir sujud, takbir duduk antara dua sujud, takbir sujud, takbir I’tidal untuk rakaat keempat (5x). Rakaat keempat:  Rakaat kedua: takbir ruku’, takbir sujud, takbir duduk antara dua sujud, takbir sujud, takbir tahiyat akhir (5x). 7+6+5+5 = 23. Setelah habis shalat bagi yang mengamalkan dzikir takbir 33 kali, maka satu shalat yang empat rakaat, menyebutkan 56 kali Allahu Akbar. 3 kali shalat empat rakaat dalam sehari berarti 3x56 = 168 kali. Shalat yang tiga rakaat, Rakaat pertama 7 x, rakaat kedua 6 x, rakaat ketiga 5, jumlah 18 kali ditambah 33 dzikir takbir, maka 51 kali. Shalat dua rakaat: rakaat pertama 7 kali. Rakaat kedua 5 kali, jumlah 12 kali, ditambah 33 dzikir takbir, maka 45 kali. Dengan demikian, repeat power takbir dalam shalat wajib berpotensi 168 + 51 + 45 = 264 kali mengulang Allahu Akbar.
Melihat “teori Jepang itu”, para calon pemimpin dan pejabat-pejabat tinggi yang berpotensi korupsi, cocok ditraining di Mesjid-Mesjid bukan di Hotel-Hotel selama sebulan. I’tikaf di Mesjid selama sebulan, beribadah sebanyak-banyaknya, mengucapkan kata, “Saya Jujur” 500 kali sehari dan “Saya Tidak Korupsi” 500 kali sehari. Mungkin hal seperti ini perlu direkomendasikan ke KPK.
Bersegera dalam Berbuat Baik
Niat baik harus disegerakan, kalau niat buruk jangan dilakukan. Manusia ini punya musuh yang nyata, yaitu syaitan. Syaitan akan memutarbalikkan kebenaran. Jika kita punya niat baik, maka ia akan berusaha meyakinkan kita bahwa itu buruk dan sebaliknya.
الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاء وَاللّهُ يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلاً وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya, ”Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah/2: 268)
Diskusi dan Tukar Pikiran
Adakalanya orang mau melakukan kebaikan itu jika dalam pertimbangan akalnya hal tersebut baik. Untuk itu banyak pesantren yang mengajarkan ”Mantiq” sabagai alat sarana berpikir logis.
Coba lihat cara berpikir yang keliru ini. ”Berapa umurmu?”, ”umurku 15 tahun”. ”Berapa tinggi badanmu?”. ”Tinggi badanku 150 cm”. Lantas penanya berkesimpulan, pada umur 30 tahun, berarti tinggi badanmu 300 cm dan umur 45 tahun 450 cm. Wah, keliru abis.
Ada logika awam yang pernah dicerikana oleh Prof. Dr. Nur Fadil Lubis dalam ”Berpikir Sistemik”. Datang seorang petugas pajak, menagih pajak bangunan anggota masyarakat. Anggota masyarakat itu balik bertanya, ”kamu siapa dan dari mana?”. Petugas pajak menjawab, ”Saya petugas pajak, dan berasal dari Jawa”. Anggota  masyarakat ini orang Medan dan kasusnya pun di Medan, ia balik berkomentar, ”Kenapa saya yang bayar pajak, mestinya bapak dong, orang pendatang yang bayar pajak sama kami”. Petugas pajak, menerangkan, ”Bu setiap warga negara berkewajiban membayar pajak!”. Ibu itu akhirnya berkomentar, ”Kalau begitu keluar aja saya dari warga negara”.
Nasehat dan Saran
Metode ini biasanya diperankan orang yang memiliki hubungan hirarki struktural. Orang tua mendidik anak dengan nasehat dan saran. Guru mendidik murid dan siswa dengan nasehat dan saran. Atasan memberi nasehat dan saran pada bawahannya, dan sebagainya.
Kesan penulis khatib dan penceramah sering terlibat dalam urusan nasehat dan saran. Hal yang perlu diperhatikan jangan memberi nasehat dan saran, jika kita sendiri belum melakukannya. Itu melangkar kode etik ”kabura maqtan”.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Artinya, ”Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (Q.S. al-Shaff/61: 2-3)
Baca lagi Q.S. al-Baqarah/2: 44, tidak boleh menyuruh orang lain berbuat baik, sementara kita tidak melakukannya. Dalam pandangan penulis, jika terpaksa atau dianggap perlu mengatakan kebaikan itu sementara kita belum melakukannya, katakan posisi kita yang belum mengerjakannya, ajak jamaah untuk berusaha sama-sama melakukannya.
Metode Reward dan Punishmen
Reward berarti hadiah baik fisik maupun non fisik. Punishment berarti hukuman. Metode ini sering dipakai dalam pendidikan sekolah. Dalam rumah tangga juga sering dipakai, walaupun porsi hukuman lebih sering digunakan.
Metode reward dengan memberi penghargaan terhadap kebaikan yang dilakukan seseorang apalagi anak umur sekolah perlu dikembangkan. Mari kita bayangkan jika kita menginginkan murid SD dan SMP di Gunung Tua ini rajin menjalankan ibadah shalat 5 lima waktu berjamaah. Barang siapa yang menjadi anak yang paling banyak dan paling baik shalat jamaahnya 5 waktu dari Januari 2014 sampai Januari 2017, maka akan diberikan hadiah 1 mobil Avanza. Bagi orang kaya membelikan Avanza, kecil!, apalagi hadiahnya dikumpul gotong royong. Saudaraku, boleh dicoba. Boleh jadi dari metode ia sudah banyak anak yang terbiasa shalat jamaah, sehingga tanpa hadiah pun mereka tetapi menjaga shalat jamaah.
Menghargai tidaklah selamanya dengan materi bisa juga dengan kata-kata yang baik, berupa pujian. Orang ingin dipuji, walaupun cara memujinya harus dibedakan menurut tingkat umurnya. Jangan samakan memuji anak TK dengan memuji mahasiswa. Bagaimana juga kalau kita sepakat membuat hukuman, siapa yang korupsi, maka semua hartanya disita dan pelakunya dihukum mati. Hukum itu pendekatan Yahudi. Lihat saja Allah menurunkan wahyu Taurat kepada Yahudi dari 10 ajarannya, 9 itu adalah larangan. Orang-orang yang keras kepala, bandel pendekatan hukum itu tepat, tetapi jangan hukumannya ringan-ringan. Jangan-jangan orang yang tidak setuju dengan hukuman mati buat koruptor itu, karena ia sedang atau berencana untuk korupsi atau setidaknya ia berpotensi untuk korupsi ataupun saudaranya kemungkinan banyak terlibat korupsi.
Selain metode pendidikan karakter yang dikemukakan oleh al-Ghazali ada juga disebut Muwakif Saleh dengan metode Ikon dan Afirmasi. Membangun kesepakatan nilai keunggulan.
Metode Ikon dan Afirmasi
Metode ikon dan afirmasi merupakan metode menempel atau menggantungkan kalimat-kalimat singkat dan mudah dihapal yang dianggap positif. Tulisan tersebut dapat menggugah semangat sesuai dengan tujuan yang menempel atau menggantungnya. Fuad Jabali dan Jamhari dalam semangat berkarya mengutip kalimat Gustave Von Grunebaum yang mengatakan, ”Don’t be afraid of publishing your work, just because, you think that people will critize you: Jangan takut menerbitkan karyamu, hanya karena kamu kira bahwa ada orang yang akan mengkritikmu” Kalimat itu diduga kuat dapat memperkecil ketakutan para kreator untuk dikritik dan juga memperkuat keberanian untuk berkarya. Semangat berkarya itu barangkali tidak kalah hebatnya berpengaruh besar pada seseorang ketika membaca jargon berijtihat, ”al-mujtahidu idza ijtihada faashaba falahu ajrani wa idza akhtha falahu ajrun wahid: orang berijtihad, jika benar mendapat pahala dua, jika salah, maka mendapat pahala satu”. Tidak kalah provokatifnya kalimat Ahmad Tafsir dalam berkarya, ia menulis, ”tulislah yang salah, agar muncul yang benar”.
Membangun karakter dengan cara menempel atau menggantung ini sering digunakan dalam pendidikan, di antaranya oleh Pondok Modern Gontor. Jika Anda mengunjunginya, maka Anda akan banyak menemukan kalimat-kalimat bijak menempel di dinding sebelah atas bangunan, baik di ruang pertemuan, di asrama, maupun di jalan-jalan lingkungan pondok. Begitu menjelang tahun ajaran baru, pada masa proses seleksi ujian masuk Pondok Modern Gontor, calon santri menemukan tulis yang digantungkan dengan ukuran besar, ”Ke Gontor Apa Yang Kamu Cari”. Pemerintah dan parpol tidak juga ketinggalan menggunakan metode ini, hanya saja diduga kurang tulus. Contohnya, ”Orang baik, taat pajak”, pegawai pajak, asik mengkorupsikan pajak. ”Katakan tidak untuk korupsi”, yang mengkampenyekan terlibat korupsi. Slogan-slogan yang baik di permerintahan sekarang ini hemat penulis cenderung verbalistik.
Membangun kesepakatan nilai keunggulan
Baik secara pribadi maupun secara kelembagaan bisa dibuat suatu komitmen untuk membangun nilai-nilai positif dan menjadikannya menjadi budaya sikap atau budaya kerja dan ditampilkan menjadi karakter bersama yang disepakati secara bersama juga. Komitmen itu dijadikan yel-yel maupun lagu wajib.
Renungilah lagu Indonesia Raya yang idealnya dapat menambah kecintaan kita terhadap Indonesia, memupuk persatuan, dan membangkitkan semangat merdeka. Sumpah pemuda, hendaknya dapat mempersatukan kita dengan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Dua contoh tersebut merupakan komitmen nilai keunggulan untuk membangun karakter bangsa.

F.     Penutup
Penulis sependapat dengan Prof. Dr (HC). Malik Fadjar bahwa berbicara teori telah bergudang-gudang ditulis banyak orang. Tulisan dalam teori ini tidaklah sama sekali baru, hanya saja obyeknya yang berbeda. Kita membaca banyak teori mengatasi korupsi untuk tidak mengatakan memberantas korupsi, kemudian kita sesuaikan dengan kelayakannya untuk kepentingan teknis. “Lain lubuk lain ikan” mungkin perlu dipertimbang.
Persoalan  manusia itu adalah kompleks sekali. Membicarakan manusia tidak bisa menggunakan teori “hitam putih”. “Ia hari ini bisa jadi bukan ia besok bahkan tidak jarang ia jam ini berbeda dengan ia satu jam ke depan”. Korupsi sepertinya sudah “mendarah daging” di Negara kita ini, untuk itulah ada yang menyebut “teori benang kusut”, entah darimana dimulai untuk memperbaikinya. Teori ini tentu terkesan pesismis. Ada juga yang menyebut, “teori potong kompas”, memberhentikan segera semua “generasi koruptor”. Teori ini termasuk agresif. Ada juga yang menyebut teori, top down”, perbaikan dimulai dari atas kemudian yang bawah akan mudah diperbaiki. Teori ini bisanya cocok dalam militer. Sebaliknya, ada juga yang mengemukakan bottom up”, perbaikan dari grass root menuju pucuk pimpinan. Teori ini memperhatikan proses panjang. Ada juga teori yang solutif dan sederhana, teori “ibda’ binafsik”, memulai dari apa yang bisa kita lakukan.
Dalam pandangan penulis, semua teori itu bagus-bagus dan banyak yang bisa dipraktekkan, hanya saja penulis meragukan kemauan banyak orang. Masih banyak orang menikmati “sistem KKN”. Contoh kecil, dulu pernah penulis mengalami mengurus perpanjangan SIM tanpa ada calo dan pungutan liar, ada juga yang berkomentar, jadi repot dan lambat. Katanya kalau dengan calo, sebentar selesai dan repot.
Ulama dan cendekiawan adalah punya kekuatan ilmu dan moral. Melalui kekuatan itulah mestinya mereka berperan. Apalagi ulama dan cendekiawan ini memiliki double peran. Ulama yang hakim atau hakim yang ulama, cendekiawan yang jaksa atau jaksa yang cendekiawan, ulama yang polisi atau polisi yang ulama bisa berperan sebagai kekuatan ilmu, moral, dan hukum. Kalau saja ada 10 ulama dan cendekiawan yang diakui kekuatan ilmu dan moralnya di Paluta ini, kalau mau pemilihan kepada Daerah dan presiden gak repot, tinggal kita tanya aja mereka sepuluh. Aman kan? itu kalau benar-benar ada setingkat kualitas ilmu dan kesalahan para tabi’in saja. Naudzu billah kalau ada ulama dan cendekiawan bisa diperalat politik, sehingga muncul sebutan. Ini ulama partai A. Ini cendekiawan partai B. Sehingga kalau kita minta fatwa, ia menggunakan prinsip politik, “right or wrong is my party: ‘benar atau salah, pilihlah partai saya’
Apapun yang terjadi kita harus punya harapan terhadap Paluta ini. Baik-buruknya Paluta ini adalah kampung kita. Mari kita bahu membahu dalam berbuat baik. Sekecil apapun kontribusi kita, akan berguna untuk masa depan Paluta. Sepertinya waktu setahun itu terasa sangat cepat. Tahun demi tahun, kita semakin dengan jadwal kematian yang misterius, jika kematian datang, maka kesempatan berbuat baik telah berakhir fa istabiqu al-khairat. Allahu ‘alam bi al-shawab.















DAFTAR BACAAN
Budhy Munawar Rachman (Ed.). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995.
Daradjat, Zakiah. Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia. cet. IV. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa. Bandung: Mizan, 1996.cet. 3.
Hussain, S.S. & S.A. Ashraf. Crisis in Muslim Education. Jeddah:King Abdul Aziz Universiti, 1979.
Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir
Lickona, Thomas. Educating for Character: Mendidik Untuk Membentuk Karakter. Terjemahan Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: Bumi Aksar, 2012.
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
Muhammad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi
Saleh, Akh. Muwafik. Membangun Karakter dengan Hati Nurani. Jakarta: Erlangga,2012.
Steenbrink, Karel A. Pesantren Madrasah Sekolah. Jakarta: LP3ES, 1986. Cet. 2.
Tafsir, Ahmad (Ed.). Epismologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: IAIN SGD Bandung, 1995.
TIM. K.H. Imam Zarkasyi di Mata Umat. Gontor: Gontor Press, 1996.
UURI No. 20 Tahun 2003
Wardun, Vol. 65, sya’ban 1433.
Zuchdi, Damiyati, dkk. Model Pendidikan Karakter. Yogyakarta: MP, 2013,




¨ Makalah dipresentasikan di Seminar Nasional Peranan Ulama dan Cendekiawan Muslim dalam Memberantas KKN di Gunung Tua, Selasa 17 Septermber 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar